Skip to content Skip to sidebar Skip to footer

Widget HTML #1

Kisah Nyata Sedih, Tomat Busuk : Maafkan Aku yang Tidak Cantik

Cerita Sedih Sista Remaja yang Banjir Air Mata 



Apa paling menyakitkan? Adalah saat tidak dianggap. Terpinggirkan dan diabaikan. Sakit rasanya. Apakah tidak cantik adalah sebuah dosa? 


Sekali lagi, maaf aku baik-baik saja, hanya tidak bisa dijelaskan dengan kata-kata. Sebagai wanita yang tidak cantik? Aku hanya perlu satu saja!

Sekali saja! Sekali saja lihat aku sebagai wanita! Maka akan aku berikan seluruh hidupku. 

Sekali saja! Sekali saja pandang aku sebagai wanita yang punya hati dan juga punya rasa. Maka seluruh duniaku akan menjadi milikmu.


Bagai serpihan pasir di pantai. Bagai gelombang di samudra luas. Bagai lentera kehidupan dalam kegelapan. Itulah satu-satunya hatiku yang tulus, yang akan kupersembahkan untuk siapa saja kau rela menoleh pada wanita yang tidak cantik sepertiku.


Duhai kehidupan dari semua pendengar, dengarkan rintihan dan jeritan hatiku ini. Karena entah pada siapa? Akan kuserahkan waktu dan hidupku untuk menemani kau yang rela tanpa pamrih mau mengakuiku.

Jika benar masanya kau mau menoleh dengan tengokan kebelakang tanpa menundukkan pandangan terhadapku, itu akan menjadi waktuku mengangkat lentera, bukan api yang akan membakar hampa dan gelap. Melalui aku akan menjadi penjaga malam dengan mengangkat lentera serta mengisinya dengan minyak doa-doa tulus pada Sang Maha Cinta, hanya untuk kau. Iya kau yang tidak peka!

Tomat Busuk, Maafkan Aku yang Tidak Cantik? 



Hai aku Yanti. Aku ini merasa nggak cantik. Apalagi aku ini dari kecil nggak pernah dibelikan baju sekolah baru. Hingga baju sekolahku selalu kumal. Malahan pernah pas aku SD aku dikatain Tomat Busuk sama temanku. Kata-katanya begitu menghujam. Mungkin aku nggak bakal sanggup dech buat lupainnya.


Ceritanya begini. Ayo kembali bangku sekolah saat aku SD. Bisalah kita melewati lorong waktu. Surabaya, tahun 2000. Sejauh ini hidupku cukup bahagia memiliki dua teman seperti Lia dan Ratih. Mereka nggak meninggalkan aku saat yang lain menjauhiku.


Ya setidaknya aku masih punya teman. "Ih, iku lihaten, Yanti. Dia jorok banget sih, bajunya kumal, kegedean, sering mimisan jugak!" ucap salah satu teman sekelasku bernama Rara.


"Iya, gilani yok, Yanti iku?" tanya Rus seolah meminta persetujuan anak yang lainnya. (Iya, jijiki ya, Yanti itu?) "Aku boleh pinjam petelote tha, Rek?" ucapku pada Ratih saat aku lupa membawa pensil.

Petelot itu nama lain dari pensil. Kurasa tadi aku sudah memasukkan benda dari kayu itu di tas bulukku, tetapi kok nggak ada gini. Mungkin tertinggal di meja belajar.


Ajaibnya Ratih meminjamiku pensil untuk menulis pelajaran yang didikte oleh bu guru Yuni. Kadang Ratih juga mengajakku bermain, juga Lia.


Mereka berdua main ke rumahku, kalau di sekolahan aku jarang sekali diajak main oleh mereka berdua. Oh, ya aku sebangku dengan Ita, dia anaknya pak Sobi. Rumahnya lumayan dekat dengan sekolahan SD-ku.

"Yanti, kon durung adus, tha? Ambumu kok nggak enak ngene? Malah mimisen, deloken awakmu, Ti!" hardik Ita suatu ketika padaku.


(Yanti kamu belum mandi, kah? Baunya kok nggak enak begini? Malah mimisan, lihat dirimu, Ti!)


Aku sadar diri lalu memelorotkan diri ke ubin yang dingin. Bahkan untuk duduk di bangku kelas pun, sepertinya aku tidak berhak. Selanjutnya aku duduk di lantai, menulis pelajaran yang ada di papan tulis, lalu menyalinkannya lagi di buku tulis, sudah seperti makanan sehari-hari bagiku.


Aku kadang marah sama Tuhan, Dia seolah nggak mau berbuat baik padaku yang jelek ini. Apa Tuhan cuma nolong anak-anak yang cantik dan nggak bau?


Aku pikir mandi dan gosok gigi menggunakan odol sudah cukup. Tapi kenapa aku masih dibilang bau dan jelek?


Bajuku memang baju bekas, yang kubeli dari Ita saat dia sudah membeli seragam baru, tasku pun dulunya milik Lia, aku juga merengek untuk bisa membelinya. Aku rela nggak jajan agar memiliki semua barang berharga ini. Apa dengan aku memakai seragam dan tas bekas menjadikanku bau?


Kata orang-orang aku ini kumal, jelek, jorok, miskin, lusuh, intinya semua kutukan anak jahanam seolah melekat erat pada diriku. Aku juga merasa tubuhku sangat ringkih, hampir tiap hari aku duduk di ubin kelas, membuatku sering merasa meriang.

Sakitnya Terpinggirkan Oleh Semua Orang 


Sayangnya, guru yang mengajariku di kelas juga acuh. Mungkin kalau aku adalah anak orang kaya guruku baru menaruh sayang padaku.


Nggak, aku nggak punya rasa benci pada guru kok. Aku hanya sedang introspeksi apa yang salah pada diriku sendiri. Aku memang jarang tanya pelajaran yang kupikir sulit pada guruku, padahal beliau juga memberikan waktu untuk bertanya.

Oke, aku akui aku juga bukan anak pinter, mungkin itu juga alasan mengapa aku tidak terlihat atau mungkin nggak pantas buat dilihat.

"Hih, deloken tha iku, Yanti! Rek, kelambine rusuh. Ambune jian!" ucap Udin teman sekelasku juga.


(Hih, lihatlah itu, Yanti! Teman bajunya kotor. Baunya menjijikkan!)


Udin ngomong gitu pakai ekspresi orang yang nyium bau bangkai. Padahal dia sedang duduk di bangku dan aku di ubin, di sampingnya.


Aku kira dengan aku duduk di ubin, Udin nggak akan mencium bau nggak enak dari tubuhku. Ternyata nggak! Saat bel istirahat, semua anak membaur keluar kelas. Aku? Aku bingung dan serba salah.


Aku kayak makhluk paling berdosa di muka bumi. Aku akhirnya juga keluar kelas untuk melihat anak-anak lain main lompat tali, main kelereng, main bak sodor, main betengan, main petak umpet, dan banyak lagi.


Aku senang melihat kebahagian mereka. Aku seperti melihat chanel TV yang bisa kuubah-ubah dengan remot. Aku bisa melihat mereka bermain kejar-kejaran, kemudian saat aku bosan, aku akan melihat mereka bermain kereta api dengan membentuk gerbong-gerbong dari tubuh mereka.


Hingga sesuatu yang buruk terjadi padaku. Ternyata berteduh di bawah pohon Akasia tak membuatku terhindar dari sengatan matahari sepenuhnya, juga debu yang masuk pada hidungku. Aku merasa amat pening, sesak di dada, dan perut yang seperti dikocok-kocok.


Aku mimisan. Aku nggak membawa lap kain, kemudian dengan suksesnya darah segar dari hidung itu mengalir ke bawah, melewati mulut, dan mengotori jilbabku.


Oh, ya, aku sekolah SD di MI atau sejenis lembaga pendidikan Islam setara dengan SD. Jadinya jilbab wajib dikenakan oleh tiap murid perempuan, meskipun baju dan roknya pendek.


Saat aku sadar, aku mimisan, kerudungku sudah banyak sekali darah. Ada beberapa anak perempuan mendekatiku, mungkin mereka adalah genk atau grup gaul anak sekolah. 

Ada Rani, Rini, Maya, dan Sari. Mereka terbiasa bersama-sama, bahkan ke kamar mandi pun barengan. Aku iri dengan mereka, mungkin memiliki sahabat itu sangat enak.

 "Hai, Yanti! Kon mimisen iku lho!" bentak Sari padaku.

 (Hai, Yanti! kamu mimisan itu lho!) 

"Makane tha, jangan makan tomat busuk. Ben nggak mimisen koyo ngunu! "imbuhnya dengan nada mencibir dan membentak. 

(Makanya ya, jangan makan tomat busuk. Biar nggak mimisan seperti gitu)

 Ah, aku terlalu terbawa perasaan. Aku lupa buat mengira, kalau arek-arek itu terbiasa menggunakan bahasa kasar. Bagaimana menurutmu? Kalau diingat sakit hati masa kecil yang sering ku temui dan ku rasakan, ternyata meniupkan mimpi buruk saban malam dan itu amat sangat mengganggu mimpi indahku saat tidur.

Aku Juga Manusia Punya Hati, Punya Rasa 


Seperti manusia lain, aku juga ingin punya teman. Aku juga ingin nggak pernah mimisan. Aku juga ingin mimpi indah saat aku tidur, dan aku juga ingin nggak makan tomat busuk. Eh, tunggu! Tomat busuk? Aku merasa nggak pernah makan tomat busuk padahal sih.

Lalu aku menjadi menaruh curiga pada Ibu. Apa Ibu memasukkan tomat busuk pada makananku? 

"Ibu, apa Ibu memasukkan tomat busuk pada makanan?" tanyaku saat makan siang. 

"Eh, ya nggak mungkin Ibu memasukkan tomat busuk pada makanan tho, Ti!" jawab Ibu dengan sorot mata yang tulus dengan senyuman khas seorang Ibu. 

"Kata Sari, aku sering mimisan karena makan tomat busuk, Bu!" ucapku kesal sambil meletakkan sendok ke piring.

Rasanya enggan makan, kalau di dalam makananku benar dimasukkan tomat busuk.

 "Sari itu kan cuma bergurau, Nduk! Jangan diambil hati! Anak Ibu kan mimisan karena memang nggak tahan panas," ucap Ibu membantai semua yang ku pikirkan.

 "Bergurau kok bikin aku sedih tho, Bu?" tanyaku, lalu mulai memasukkan nasi dengan oseng papaya muda ke dalam mulutku yang kecil.

 "Ya biarin ajah tho, Ti. Mulut kan gunanya juga buat ngomong. Kalau kamu merasa sakit dibilang kek gitu, berarti kamu jangan ucapkan itu ke orang lain." 

"Kukira mulutku juga boleh ngomong kayak Sari, Bu?" tanyaku dengan menatap Ibu.

 "Koyo wong Jawa, Ti. Nek moh dijawil yo ojo njawil. Pokoke Yanti anakke Ibu iku ora bakal isa koyo Sari, Yanti iku anake Ibu seng ayu dewe.

Tuture yo apik, mung sayang gondokan," ucap Ibu memberikan aku nasi tambahan.

 (Kayak orang Jawa, Ti. Kalau nggak mau disentuh ya jangan nyentuh. Intinya Yanti anaknya Ibu, tidak bakal bisa kayak Sari, Yanti itu anaknya Ibu yang paling cantik. Omongannya ya baik, tetapi suka sakit hati.) Semoga Ibu bahagia di sana. 


The End

Daftar Isi Cerpen


Indeks Link Cerita Remaja 

Judul : Tomat Busuk (based of true story) 

Author :  qonidio

Editor : Kanya Anantasya 

Selamat membaca dan jangan lupa bahagia. Bersama bercerita bisa dan Terimakasih.

2 comments for "Kisah Nyata Sedih, Tomat Busuk : Maafkan Aku yang Tidak Cantik "