Skip to content Skip to sidebar Skip to footer

Widget HTML #1

Konspirasi Ruangan Hampa, Cerpen Singkat Tentang Persahabatan yang Bikin Baper

Cerita Singkat Tentang Persahabatan dan Kehidupan 




Cerpen Bebebs.com- Pengalaman masa silam dan perjalanan yang menginspirasi selalu menjadi ide favorit dalam memulai suatu proses perancangan dalam mendekorasi.

Memang tidak semua orang seberuntung Urya yang sudah menjelajahi tempat menarik di berbagai kota di Indonesia. Sungguh menyenangkan menuliskan penataan tempat dari perburuan menemukan kain-kain tenun, kerajinan tangan dari berbagai daerah Nusantara.

Hari itu, di depan layar laptop dengan jemari masih menari merangkai diksi, menyusun paragraf demi paragraf sebagai tempat menuangkan seluruh imaginasinya dalam karya.


"Siapa orang baru itu. Kenapa masuk 'Genk's'?"

Isi pesan group Whatsapp masuk terpapar di layar datar. Urya segera mengambil ponsel di sebelah kiri di atas meja kayu jati bercorak klasik.

Chat hangat pun mulai mengalir, saling berbalas seperti biasa. Seolah tidak terjadi apapun.  Hingga pada satu titik akhirnya, memanas, membuncah, meledak, menusuk hatimu.

"Kami Genk's Lelembut itu sudah seperti sauadara."

Sebuah kalimat sakti itu mengiang-ngiang memenuhi minda. Muncul dan terus muncul membentuk sebuah labirin dalam pikiran.

Urya pun sepertinya mulai bertanya dalam hati yang menganga; Apa yang menyatukan Genk's itu menjadi saudara? Adalah ikatan jiwa peduli literasi. Itulah awal sekaligus dasar komunitas tercipta.


"Jika kepedulian akan literasi yang menyatukan, kenapa harus membeda-bedakan siapa junior dan yunior. Membedakan orang lama dan baru. Bukankah yang terpenting adalah kepentingan literasi?"



Urya seolah bertanya pada dinding bisu bercat putih lembayung dalam ruang tengah rumahmu. Sebuah ruangan yang dia desain sendiri, dari imaginasi perjalanan seluruh negeri.

Sudut ruangan ujung sebelah kanan ia duduk, seolah menjawab pertanyaannya;

"Mereka itu para wanita, sudah terbiasa dengan teman lama. Kalau sudah cocok, susah menerima yang baru."

Seperti anak panah melesat menancap jantungnya, menusuk hingga berdarah-darah. Hati wanita memang dipenuhi misteri.


Secepat kilat, Urya segera menyahut secangkir kopi buatan sang istri yang tidak terlalu manis dan juga tidak terlalu pahit. Seperti manisnya kopi, pahit juga nikmat.

Sebatang rokok, segera dia lemparkan dalam bibir, sulut dengan mancis, seperti hatinya yang sudah mulai terbakar. Entah berapa kali hisapan rokok itu seolah sangat nikmat, paling tidak bisa melepas beban sesaat.

Asap putih melingkar terbang mulai memenuhi ruangan tengah yang tertata apik, dari berbagai furnitur klasik penuh warna.

Warna memang sebuah keindahan, kapan saja bisa membutakan mata. Dulu, dia tidak mengalami hambatan sama sekali, saat berurusan memilih warna apa dalam membina mereka menulis.

Kini warna-warna itu justru berkonspirasi dalam penghkianatan. Bagaimana tidak sebuah penghkhiantatan? Ia dilempari sampah di rumahnya sendiri.

Taukah apa paling menyiksa dalam menulis? Adalah mereka melihatnya sebagi pribadi, bukan sebagai penulis. Demi lautan diksi yang memenuhi minda, jarinya masih saja menari meski sakit hati. Biarlah tidak seindah dulu, hatinya masih berpelukan dalam bayangan.
 

"Mas aku kecewa denganmu! Bukankah sudah kubilang, ambilah keputusan saat hati tenang." Begitualah bunyi pesan masuk dari sahabatnya. 
"Apapun keputusanmu, aku mendukungmu dari belakang. Aku percaya, semua itu demi kepentingan literasi," lanjutnya.


Setidaknya Urya sedikit lega, masih ada orang-orang tulus dan mengerti akan keputusanmu. Walaupun mungkin, sudah tidak akan sama lagi seindah dulu.

Urya masih duduk mematung di atas sofa biru, menatap layar persegi empat. Sebelah kiri berjajar bantal bersarung kain tenun asal Sumba khas corak Nusa Tengara Timur

Satu persatu pesan chat masuk, mulai di baca dengan hati terlunta. Ada amarah, kecewa, ada pula yang setia dan mau memahami apa yang telah di putuskan.

Kain tenun Sumba corak khas NTT membawa ingatannya kembali setahun yang lalu. Bibirnya terkunci, waktu itu kehangatan komunitas yang tercipta dari berbagai corak karakter penulis, begitu indah.


Hitam, putih, hijau, kuning, merah, biru, beragam warna mengiasi. Satu persatu dirajut oleh jiwa literasi melalui sebuah wadah platform digital menulis. Sekarang mati?

 "Terimakasih atas bimbinganya, Suhu. Yang sabar ngajarin kami menulis."


Tanpa terasa sebening tirta melompat membasahi pipi lelaki berusia tiga puluh tiga tahun itu. Sesuatu mutiara berharga yang dimpikannya dari kecil sudah terwujud. Ikut serta mencerdaskan bangsa lewat literasi.

Urya sedih, sapa hangat itu meranggas. Hancur berkeping-keping, porak-poranda oleh ego sesaat. Ternyata perjuanganya setahun lebih, bukan menciptkan para penulis cerdas dengan akal waras, justru sebaliknya. Ego menjadi raja jiwa.

Semakin lama manusia bukannya berkembang ke arah yang lebih baik, apa itu namanya kalau bukan 'jan cocok tenan'? Jawab. Gagal, jatuh terjerembab dalam luka menyakitkan.

Paling tidak, Urya masih bisa bersyukur, di belakangnya masih banyak penulis-penulis hebat dengan tulus rela bergandeng tangan untuk berjuang bersamanya lagi dalam kemajuan literasi.


"Kamu terlalu baik hati, Mas Urya. Sehingga mereka terhanyut dalam rasa. Bukan kenyatan sebenarnya."


Terhanyut dalam rasa tentu boleh saja. Lantas apa tidak bisa melihat penulis pada karyanya saja. Kenapa harus pada pribadi?

Menjadi butiran batu, memenuhi mata, dada. Tidak terkendali. Kata sakit, tidak mampu menjelaskan rasa kecewa yang diderita pria bermata elang itu.

Urya menghela nafas, mengalihkan pandangannya pada suatu bidang dinding di living room yang dirancang kabinet dari panel kayu, fungsinya selain sebagai aksen dekoratif ruang yang kontras dengan warna sofa, juga untuk tempat menggantungkan televisi serta wadah memajang koleksi.


Bukan hanya televisi yang digantungkan, namun group komunitas yang Ia bangun bertahun-tahun 'pun sekarang menggantung. Urya sepertinya kecewa dan ingin meninggalkan mereka semua.

Andai saja semua itu bisa? Sebab lelaki itu sudah terikat oleh satya-nya sendiri. Sebuah perjuangan menyakitkan  meyenangkan dan menyenangkan yang pahit. Februari tanggal sembilan, dua ribu sembilan belas menjadi saksi konspirasi ruang pengkhianatan.

Sepertinya ia, akan mengenang itu sebagai hari kasih sayang terindah. Cinta yang tumbuh dari orang-orang membenci, berakhir di februari.

Bersamamu Bahuku Lebih Kuat 


Bila mengomel sama dengan berduel  ̶  mampu memutuskan ribuan syaraf  ̶  mungkin sudah mengulit pohonlah wajahnya. Atau memang sudah berwujud demikian? Urya sudah tidak dianggap. Karena Genk's sampai tidak bisa membaca betapa Ia tengah menggelegak.


Siap pecah, sekarang mereka jelas-jelas menikungnya dari belakang. Genk's telah mati, berganti nama "Kami Keluarga", begitulah mereka menamakan group Whatsapp barunya.


"Gahi Ndou Bojo, piti re henca," "Kata orang Dompu-Bima, uang itu Setan."



Itulah kenapa Urya sangat berhati-hati dalam mengambil keputusan waktu itu. Tidak memberi ijin pada mereka untuk penggalangan dana.

Karena tujuan dari komunitas yang dia bentuk hanya untuk kepentingan literasi. Selain itu, pendirannya teguh tidak bergeming.

"Biarlah Allah sebagai saksiku, jika aku bersalah. Terkadang sebuah kebenaran memang pahit."

Urya lebih pada bicara pada diri sindiri. Disaksikan kecepatan cahaya memantul ke dinding tidak berkurang sama sekali. Merenungkan satu persatu semua hal tentang mereka. Apakah yang dia lakukan itu salah? Urya sepertinya mulai mencari jawaban dalam hati.

"Gimana, sudah adem dibujuk sana-sini?"

 Angela mencebik manja menghampiri. "Abang terlalu baik jika mengikuti kemauan mereka," imbuhnya sembari duduk di sebelah sang suami.

"Ya mau gimana lagi? Aku 'kan orangnya gak tegaan."

"Iya terlalu baik. Tapi jahat sama istri sendiri."

"Emmm... mulai."

"Apa Bang Urya lupa? Bunga di taman saat mekar banyak mata yang memandanginya. Namun saat gugur, tidak ada satupun yang peduli. Yakinlah harumnya akan dikenang juga."

Seperti hujan memadamkan api kebakaran hutan. Ucapan bidadari surganya itu membuat Urya mungkin tersadar. Sebuah kalimat yang sering dia ceramahkan pada istrinya kini berbalik pada dirinya sendiri.

Saat sebuah keindahan merekah, semua orang mengagumi. Saat gugur tidak akan ada yang peduli. Hanya ketulusan, yakinlah harumnya akan dikenang juga.  Dalam ruang tengah tamu berukuran 16 meter persegi, berhias warna, tekstur, serta bentuk perabotan beragam gaya, tadinya terasa sempit kini melonggar penuh keindahan yang cerah.

Selincah merpati jemarinya mulai menari di atas keyboard merangkai diksi pesan hati. Satu per satu rangkaian huruf terpampang dilayar datar laptop.

Ketika Sahabat Melupa dan Terpisahkan 



Suatu hari nanti mungkin kalian akan bersukur karena bahwa hari ini kita berpisah. Jika tidak, kalian tidak akan menemukan keluarga baru yang mampu saling menyayangi begitu dalam. Begitu pula aku berpikir serupa.

Kita mungkin saja tidak akan menyesali hari-hari bahagia saat kebersamaan itu. Namun, paling tidak ada satu hal besar yang pasti membuat kita tertunduk lama.

Bisa jadi hal itulah yang membuat kita sangat bersyukur tidak sehangat kebersamaan lagi seperti dulu. Tentang bagaimana kita menjadi keluarga literasi jika masih dalam satu group kepenulisan.

Hari ini aku mengingat kalian yang terus melaju meski kukatakan berhenti. Demi lautan aksara yang membasuh luka. Kita tetap keluarga walau dalam bayangan. Hari ini kuingat komentar-komentar manja disetiap postingan yang gaje juga bikin tertawa.


Mungkin semua ini akan berakhir suatu hari nanti. Entahlah... Atau mungkin tidak akan berakhir. Namun paling tidak, aku yakin sejarah akan mencatat kita sebagai pejuang-pejuang literasi di negeri ini.


Seperti air laut, pasang surut dinamika perjungan kita, ada kalanya naik, kadang juga surut. Di manapun kalian, apapun kalian, ingatlah bahwa kita pernah bersama. Tetaplah berjuang untuk literasi negeri ini. Tanah air tercinta Indonesia.



Sebuah Prosa Kekosongan muncul menjadi ending cerita pendek yang Urya tulis dari lautan jiwa terdalam yang akan membuat pembaca cerita jantungnya berhenti sebentar, nafasnya tercekat:


Taukah kau apa yang paling menyiksaku dalam dunia literasi? Adalah rangakain diksi dingin tanpa kehangatan kalian seperti dulu. Bercucuran air mata menyimbahi pipi. Ragaku mengaduh tertusuk. Aksara pun mulai kehilangan kata menjadi kaku, tak lagi manja.


Apakah kau masih ingat saat bercengkrama dalam aksara di bawah naungan literasi? Prosa, puisi, cerpen, artikel dan berbagai karya telah tercipta. Sebuah cerita harapan untuk ibu pertiwi yang lebih baik.



Jika kepedihan ini kusampaikan pada gunung, gunung akan memuntahkan laharnya.

Jika kesedihan ini kusampaikan pada langit, langin akan menggulung mendung menjadi hujan badai.

Jika perih ini kusampaikan pada laut, lautan akan mendebur ombak menjadi gelombang tsunami.

Jika nyeri ini kusampaikan pada rumput, rumputpun mati mengering terbakar.

Lantas pada siapa lagi kusampaikan gelisah ini? Hanya lewat rangkain diksi, semoga menjadi catatan sejarah suatu saat nanti. Saat nama-nama kita menjadi batu nisan. Bahwa kita adalah pejuang literasi, tidak peduli jika ruang konspirasi pengkhianatan itu terulang lagi, lagi dan lagi, aku akan terus berjuang sampai titik darah penghabisan terakhir.

Pada akhirnya, hanya kerinduan terdalam yang kurasakan, saat sepi menyapu debu-debu kebencian. Aku membiarkan diriku dalam rindu, sebab aku tak lagi mampu kembali sehangtat dulu.



Lelaki tampan bermata elang itu terdiam dan tangis yang tertahan 'pun akhirnya pecah.


The End
Bebeb Admin
Bebeb Admin Admin Bebebs Belajar Bersama Bisa Comunity

Post a Comment for "Konspirasi Ruangan Hampa, Cerpen Singkat Tentang Persahabatan yang Bikin Baper "