Skip to content Skip to sidebar Skip to footer

Widget HTML #1

Perihnya Datangi Pernikahan Mantan, Kisah Pilu yang Bikin Nyesek

Cerita Nyatakan Saat datang ke Pernikahan Mantan



Cerpen Bebebs.com - Kabut terkadang membuat segalanya menjadi gelap saat jarak menghadirkan rindu. Perasaan memilih ada sementara kenyataan berbeda. Hujan belum turun ke bumi, rintiknya sudah membasahi pipi. 

Jika hidup  sebuah perjalanan, maka aku adalah rumah. Sisanya hanya tamu yang tidak bisa aku paksa untuk tinggal. 


Perjalanan Kereta Jakarta - Surakarta

Bertemu seseorang disebuah perjalanan menuju Surakarta. Seperti pertemuan dua orang asing pada umumnya, saling melempar senyum, lalu sudah. Perjalanan kereta yang sudah mulai membosankan.

"Makan Mbak?" katanya, basa-basi.

"Ya, silahkan," jawabku. Lalu kembali menatap jauh keluar jendela yang gelap. Sedang dia, tampak malu-malu menelan setiap suap makanannya.

"Ke Solo juga?"

"Ah.., iya. He...he..." Gugup sedikit malu. Bukan karena pertanyaannya hanya saja aku terlalu takut apa yang aku lakukan diketahui olehnya. Orang asing yang tidak aku kenal.

"Mau mengunjungi keluarga, atau?"

"Ke rumah teman," jawabku sambil main gadget. Berharap dia mengerti aku sedang malas bicara.

"Perjalanan masih jauh," katanya, ia lebih pada bicara sendiri. Karena aku, sudah membuang jauh tatapanku ke luar jendela.

Lalu suasana kembali hening yang ramai suara derik laju kereta di atas rentangan baja.

Pagi itu, entah bagaimana mulanya  ketika jendela sudah menyuguhkan lukisan bergeraknya, saat tersadar ternyata kepalaku terkulai di pundaknya. Pundak lelaki asing itu.


Seketika, aku tarik kepalaku  dan tubuh untuk kembali duduk tegak dan bersandar pada sandaran kursi kereta.


"Maaf," kataku, tertunduk. Dia tidak menjawab, hanya tersenyum. Lalu menyodorkan sebotol minuman. Aku yang terbiasa dehidrasi saat bangun tidur, tidak menolak botol yang masih tersegel itu dan meminumnya.


"Maaf tak membangunkan kamu, sepertinya tidurmu pulas, tak tega rasanya."


Aku terdiam saja, dalam hati meruntuki kebodohanku. Bagaimana mungkin aku tertidur di bahu laki-laki asing itu? Aku menyesal...


"Sekali lagi, Maaf, aku tak bermaksud buruk," ucapnya.

"Tak apa itu kesalahanku," jawabku sedikit malu bercampur kesal.

"Mbak baik-baik saja?" tanyanya sopan.


Aku hanya diam meski saat itu kepalaku terasa berat dan hatiku tercabik-cabik, pertahananku goyah dan jujur, butuh sandaran untuk berkelu kesah. Tapi...,aku tidak bisa bercerita dengan laki-laki asing ini. Karena hatiku memikirkan kekasih hati. 

Pesan Singkat yang Membuat Sekarat


"Perjuangankanlah cinta yang kau yakini jika memang patut untuk diperjuangkan. Aku hanya tak ingin menyesal nantinya."


"Kasih... Aku merindukanmu, sangat rindu. Tapi aku tak bisa berberbuat apa-apa. Dulu aku pernah bercerita tentang Aan, Ingat? Dia makin sering main ke rumah Mama.


Entah apa yang dia lakukan. Beberapa waktu lalu. Mama menyuruh untuk mengenalinya lebih dekat.


Berbagai cara aku tolak, tapi selalu keras kepala. Dan seperti yang kamu tau, aku tak mampu menolaknya. Mama bilang Aan gadis yang pas untukku, Mama  menyukainya dan ingin Aan jadi menantunya. 

Aku sangat mencintaimu, tapi aku juga sangat mencintai Mama.


Maafkan aku yang tak pernah berhenti mencintaimu, walau musim telah berganti, walau di halaman yang berbeda hingga di ujung senja."



Aku bersusah payah demi kita, kamu balas dengan pesan singkat yang membuatku sekarat. 

Terbelenggu Rindu dan Hujan Air Mata 


Jika cinta bersyarat itu bukan cinta tapi perjanjian. Mengenalnya adalah hal terindah, lelaki yang selalu ada dalam hatiku, Mas Bekti Cahyo Purnomo Seruyansyah namanya. Menjadi butiran-butiran debu, lalu memenuhi seluruh, mata, dadaku. Tidak terkendali. 

Teringat kata-katanya dulu. 

"Nanti, akan mengenalkanmu pada, Mama. Kamu pasti akan menyukainya." 
"Lalu apa beliau juga akan menyukaiku?" tanyaku tersenyum lebar. 
"Tentu," jawab Mas Bekti dengan menatapku mesra, menganggukan kepala. 

Setelahnya, hari-hari aku sering sekali bermimpi bertemu dengan mamanya. Menyalami tangannya, lalu menciuminya dengan takzim. Setelah itu, kita mengobrol dengan hanya satu tema, aku mengucapkan berkali-kali terimakasih kepadanya karena telah melahirkan lelaki yang begitu aku cintai.

Hingga akhirnya pesan singkat terakhir dari Mas Bekti merubah segalanya. 

"Ibu bilang, Aan gadis yang pas untukku. Mama menyukainya dan ingin Aan menjadi menantunya."

Kepalaku terasa dihantam godam, pecah berkeping-keping. Bagaimana mungkin ia berkata kepadaku, sedangkan dia belum pernah sekalipun mengenalkan aku pada mamanya?

Hanya berharap, mungkin setelah bertemu denganku, mamanya akan berubah pikiran. Lalu menetapkan bahwa aku, Ana yang pantas untuk Mas Bekti.

 "Aku sangat mencintaimu, tapi aku juga mencintai Mama."


Ia mencintai mamanya tentu aku tau, bukannya tidak suka. Tentu cintanya kepada mamanya dan kepadaku sangat berbeda. Dan itu tak membuatku cemburu. Tapi... 

"Dengan cara menuruti perintahnya, keinginannya, bisa membuktikan cintaku untuknya."

Lantas apa bukti cintanya untukku, apa? Bahkan selama ini aku tidak menuntut bukti apapun darinya. Datang, lalu saling mencintai, saling sayang.

Kemudian pergi...  Lama... Tanpa kabar... 

Kini disini, aku menunggu ia kembali seolah-olah tidak terjadi suatu apa pun, tanpa bertanya. Mendapatinya baik-baik saja lalu masih ingat jalan pulang padaku, itu lebih dari cukup.

 "Maafkan aku. Walaupun aku tak pernah berhenti mencintaimu, walau musim telah berganti, walau di halaman yang berbeda hingga di ujung senja. Jangan menungguku yang tak akan pulang."

Aku terdampar terkapar kelembah curam putus cinta, seluruh tubuh terhujam kelam duri bunga cinta penuh luka. Setiap memikirkanya, bukan hanya hati yang sakit menjerit tapi duri-duri cinta penuh luka itu mengoyak tubuh, jantung tercabik-cabik.

Aku bahkan tidak mampu duduk apa lagi berdiri ataupun meminum setetes air. Kata sakit tidak mampu menggambarkanya. Ingin rasanya mengakhiri hidupku ini. 

 "Jika cinta yang kita yakini layak untuk diperjuangkan sudah semestinya perjuangkanlah. Jika perjuanganmu bisa di ukur oleh ruang dan waktu maka kecilah perjuangan itu."

Aku hanya tidak ingin menyesal nantinya! Dan di sini sekarang aku berada dalam perjalanan memperjuangkan cintaku pada Mas Bekti. Entah masih bisa diselamatkan atau tidak. Aku hanya tidak ingin menyesal nantinya. 

Bertemu Orang Baru dalam  Perjalanan


 "Aku tak apa-apa!" jawaban yang sangat terlambat, sepertinya terlihat senang di mata laki-laki asing itu.

 "Sebentar lagi sampai. Mari bersiap-siap," ucapnya. 

Aku hanya mengangguk. Lalu kereta mulai berkurang kecepatannya. Aroma Stasiun Jebres Solo mulai tercium. Peluit menjerit panjang terdengar.

Para penumpang sibuk bersiap-siap turun. Aku tidak segera beranjak, menunggu lenggang. Karena tidak suka berdasakan. 

"Udah sampai, gak turun?" tanyanya.
"Ya, silahkan duluan," jawabku. 
"Kenalkan, aku Rendra. Asli Surakarta, tapi sekarang domisili di Jakarta," katanya memperkenalkan diri sambil mengulurkan tangan.

Jujur, sebenarnya malas, mengulurkan tanganku juga. "Ana Azhahra," jawabku singkat.

Jakarta? Ah... Kotaku juga.

"Sudah berapa kali ke Surakarta?" tanya Rendra lagi. 
"Ini baru pertama kali," ucapku. 
"Kamu dijemput?" Aku hanya menggelengkan kepala. Perih. Tidak ada seorang pun menungguku datang.

"Jika boleh, aku bisa mengantarmu. Insyaallah hafal betul jalanan kota ini. Bahkan jalan-jalan tikus pun paham. Yang mana banyak orang tak tau." - Aku diam tidak menjawab. 

-"Apa aku terlihat seperti orang jahat? Sampai-sampai kamu terlihat takut begitu? Aku hanya menawarkan bantuan itupun jika kau mau," lanjutnya. 

"Ok lah," jawabku. Aku pikir tidak ada salahnya. Lagi pula pan aku tidak mengenal siapapun di kota ini, tentu selain orang yang ingin aku kunjungi. Tapi, entahlah aku tak begitu yakin bisa menemukannya, meski menyimpan alamat rumahnya. 

"Jadi kamu bekerja di Jakarta?" Akhirnya untuk pertama kalinya aku mengajukan sebuah pertanyaan pada Rendra. Ya itung-itung umpan untuk ngobrol biar bisa lebih panjang. 

"Ya, aku pulang karena sedang ada acara keluarga. Oh...Iya, kita ke rumahku dulu ya. Sekaligus aku minta bantuanmu." 

Aku mengernyitkan kening, bingung. 

"Jika boleh bantu aku menjawab pertanyaan horor tentang calon istri yang biasa ditanyakan keluarga. Wkwkwk ha ha...maaf, bukan bermaksud apa-apa. Jujur bosan. Kamu tak perlu banyak bicara cukup mengangguk, bilang ya ya ya, tersenyum. Nanti aku yang atur," pinta Rendra.

 "Aku sedang tak ingin bermain-main," jawabku datar.

 "Hanya sebentar saja, setelah itu akan aku antar ke manapun kamu mau," pintanya lagi dengan penuh harap. Kuiyakan dengan anggukan kecil.

Tamu Tak di Undang Disebuah Acara Pernikahan 


Rumahnya ramai, sepertinya ada yang akan menikah, seluruh keluarga besar berkumpul. Kita disambut bak tamu yang ditunggu-tunggu. 

Beberapa wanita tengah baya yang Rendra pangil Bude, tidak sungkan-sungkan langsung menyalamiku. 

"Emm, ini to rupanya calonnya Rendra, kenapa baru sekarang dibawa pulang?" Aku tersenyum canggung, malu gimana gitu. Beberapa anak kecil berlari menyalamiku.

"Sedang ada acara apa?" tanyaku berbisik.
 "Sebentar lagi, ijab kabul adikku," bisiknya lirih. 

Benar dugaanku, ada yang menikah. Karena tidak tau mesti harus berbuat apa, aku ikuti saja Rendra melangkah. 

Mulai dari bersalaman dengan banyak orang di beranda, kemudian masuk ruang tamu yang sudah di dekorasi sedemikian rupa. Hingga ke ruangan keluarga. Di depan sebuah kamar.

 "Nah ini dia, mari aku kenalkan kepada calon pengantinya," seru Rendra dengan gembira.

Seorang gadis catik mendekatiku.

 "Namanya Al Fannur," lanjut Rendra.
 "Kak..., Kak Ana?" 

Suaranya gugup. Entah mengapa gadis itu kaget dan pandangannya nanar. 

Aneh, dari mana dia tau namaku? Padahal baru ketemu? Agak ragu aku mengangguk. Gadis bernama Al Fannur ini memelukku dengan tangisan pecah yang tertahan.

Agak ragu kusambut pelukannya. Tatapan heran Rendra tidak mampu aku jawab.

"Ayo, kalian kangen-kangenan di kamar saja." 

Rendra mencoba mengendalikan situasi dari keheranan orang-orang. Kami membimbing Al Fannur ke dalam kamar dan di sana aku temukan jawaban yang aku sendiri tidak tau harus berbuat apa. 

Terlihat sebuah foto pre-wedding berpigura besar tersadar di sebuah meja rias. Nampak jelas disitu tercetak senyum bahagia Al Fannur dengan laki-laki yang sangat aku kenal. 

Laki-laki yang mestinya aku temui di kota ini, Kota Surakarta. Mas Bekti Cahyo Purnomo Seruyansyah. 

Aku terjatuh di ranjang pengantin mereka. Mengetahui aku berlinang air mata tanpa suara apa lagi kata, semakin pecah tangis Al Fannur.

 "Namamu Al Fannur?" Sambil menahan sesak didada yang sakit luar biasa, mulut lirih bergumam. 

"Al Fannur kami memanggilnya Aan," sahut Rendra. Di kamar ini, di ranjang pengantin mereka, mataku berkabut dengan pandangan kosong. Otak terasa berat, aku tidak mengerti lagi meski harus berbuat apa. 

Kaki sudah tidak sanggup menopang tubuh, mataku kunang-kunang  hingga akhirnya aku jatuh  tidak sadarkan diri. Seketika, semuanya gelap. The End


Bebeb Admin
Bebeb Admin Admin Bebebs Belajar Bersama Bisa Comunity

Post a Comment for "Perihnya Datangi Pernikahan Mantan, Kisah Pilu yang Bikin Nyesek "