Skip to content Skip to sidebar Skip to footer

Widget HTML #1

Ketika Bertemu Mantan Masih Menyimpan Perasaan, Apa Jadinya?

Cerita Bertemu  Mantan  Sialan yang  Menyakitkan 



Taukah kamu apa yang paling menyakitkan dari perjumpaan? Adalah saat bertemu tidak tepat waku. Saling berpunya hanya tidak bisa bersama. Tersiksa. 

Adakah lebih seram dari pada kisah horor selain bertemu mantan sementara masih menyimpan perasaan. Deg degkan dan menyebalkan. 

Mengapa datang jika hanya menorehkan luka. Apa artinya berjumpa jika akhirnya tidak bisa bersama? Demikian jodoh itu unik. Siapa dikejar justru menjauh dan yang tidak disangka justru ke pelaminan. 

Kembali Bertemu Mantan Menyebalkan  


Hari itu, baru saja kedua langkah kakimu menjejak tanah di pelataran depan Masjid pada suatu senja. Terlihat seseorang yang sama sekali tidak asing. Dulu kamu menyebutnya 'kita'. Seperti orang umumnya saat hari raya Idhul fitri, bersama istrimu  tengah bersilaturahmi di Jawa Timur di hari ke tiga.


Udara bening tanpa warna menyeruak dengan aroma khas pedesaan. Aroma itu membawamu  kembali pada satu ingatan tentang seseorang. Bersama mata yang mulai mengkabut.

Senyumnya, lesung pipinya, semua hal tentangnya masih terekam jelas dalam ingatan. Sepertinya, masih tersimpan rindu yang tersembunyikan di sana, dalam palung hati.

"Ngak mampir, Kak?" 
Sebuah tanya membuatkmu menoleh pada perempuan yang baru satu tahun lalu kamu  nikahi.
"Mampir ke mana?"
"Itu ke seberang!" ucapnya mencebik," Ayuk kenalin aku ama dia Kak," tegas pintanya.

Kau  hanya mengernyitkan kening, sembari meliriknya sedikit, lalu tersenyum tipis. Ini orang kenapa ya? Emm menyebalkan, keluhmu dalam hati.

"Ngawur kamu, Dek. Suruh ngenalin sama siapa? Kakak 'pun tak kenal," belum selesai kata-katamu mencoba mengalihkan perhatian, ia sudah lebih dulu mencubit perutku,"Sakit, tau?" jeritmu  merintih.

"Yakin gak kenal?" tanya lampir muda itu  menindas.

"Ya, dia mantanku. Kenapa? Lagian yang aku nikahi itu Adek. Bukan dirinya 'kan?"
"Emm marah ya? Kasian-kasian," ejeknya renyah.

Partikel mengikat membentuk melekul-melekul emosi lalu menggumpal memenuhi rongga dada. Dengan tertatih langkah kakimu  menuju seberang jalan menemuiku yang menunduk lesu.

"Apa kabarmu?"

Sapamu sungguh bukan basa-basi. Kabar adalah hal terpenting yang selalu aku tunggu darimu  dulu.

"Baik, kamu?"

"Ah... aku tau kamu bisa menjawab pertanyaanku lebih dari itu. Semua orang tau jawaban dari kabar adalah 'baik'. Sedangkan kita bukan 'semua orang'," jawabanku  meruntuhkan pertahanyanmu. 


Lima tahun yang lalu, aku  adalah satu-satunya perempuan yang mengisi lembaran demi lembaran perjalanan hatmu. Bahkan lukisan senyumku selalu hadir menyapa meski kini kamu telah berpunya.

"Semuanya memang seperti biasanya. Aku masih baik-baik saja di sini, masih tetap di kamar yang selalu menunggumu pulang. Aku masih menolak banyak hal. Istriku selalu masih menangkap banyangan lain di mataku. Ia adalah satu-satunya orang yang bisa membaca mata selain kamu. Tapi tidak seperti kamu, ia tidak pernah lari dari pandangan mataku," balasmu  megurai kata panjang kali lebar.


Sesaat waktu seolah terhenti, diam, hening tanpa sebuah jawaban. Tersirat jelas dalam tatapanku lekat dimatamu yang  dialihkan.

"Walaupun kamu memulai kalimat itu dengan semuanya biasa saja, tapi jawabanmu barusan jauh lebih baik dibandingkan jawabanmu yang pertama," balasku  melesat seperti anak panah, tepat menghuncam jantungmu. 


"Kamu masih banyak menuntut jawaban soal kabar. Kamu sendiri sama sekali belum menjawab pertanyaanku."

"Apa yang bisa aku katakan kepada seseorang yang pergi meninggalkanku tanpa kabar. Padahal bagiku mendengarmu baik-baik saja itu sudah cukup," balasku  beriringan dengan sebening tirta melompat menghiasi mata berkabut. 

"Jadi itu semua salahku?"
"Menurutmu?" Balikku  menantang.

"Dua tahun yang lalu aku kesini mencarimu, kamu ke mana? Bukanya aku menemukannmu, tapi sebuah kabar pernikahanmu yang aku dapat."

Hembusan angin menampar-nampar wajah cerahku yang kini mulai memerah. Wajah yang dulu selalu meneduhkan hatimu.

Mungkin  kini menjadi wajah  lebih horor dari setan manapun di dunia. Begitu juga dalam setiap saat kamu memejamkan mata.

Bersyukur  Aja Karena Berpisah 


Hari ini aku melihatmu sayang, meilihat senyum yang pernah kamu berikan padaku. Melihat semuanya dalam mimpi. Sebuah mimpi yang sudah terpatri dalam hati. Sayangnya saat kuterbangun, aku dapati ternyata semua itu hanya sia-sia.

Adakah namaku ada dalam setiap doa malammu? Atau mungkin semuanya telah lenyap tak berbekas. Jangan katakan aku tidak setia, sebab aku hanya punya satu hati yang akan kuukir hanya namamu dan hanya namamu, terpatri selamanya di sana.

Berikan saja pelukan hangatmu itu untuk istrimu jika tidak bisa kamu berikan padaku. Paling tidak kita bersyukur karena berpisah. Sehingga kamu menemukan  dia wanita yang mencintaimu begitu dalam. 

Selamat Jalan  Mantan Sialan 


Terduduk  aku  hanya  melemparkan senyum tipis mudah pecah. Kemudian sisakan keheningan diantara kita. Keheningan yang sangat terasa kering hingga membakar kerongkongan dada, menjadi butiran batu memenuhi mata tidak terkendali.

Lagi-lagi aku  hanya tersenyum sembari menghela nafas dengan menunduk memperhatikan kukuku  yang seakan ada yang salah dengan mereka. Padahal sebenarnya aku  hanya sekedar mengalihkan pandanganmu.

Pandangan lelaki yang pernah ada dalam hidupku lima tahun yang lalu.

Tidak ada percakapan lagi, kemudian semua berlalu begitu saja. Biarlah hari itu menjadi kenangan pahit yang menyenangkan tentang mantan. Kamu kembali pada bidadari surgamu  hingga saat ini dan baik-baik saja. Sedangkan aku  juga sudah punya kehidupan baru bersama suami dan anak-anakku.

The End 

Daftar Isi Cerpen


Indeks Link 

Selamat membaca dan jangan lupa bahagia. Bersama bercerita bisa dan terimakasih.
Kanya Anantasya
Kanya Anantasya Menulis agar tetap waras

Post a Comment for "Ketika Bertemu Mantan Masih Menyimpan Perasaan, Apa Jadinya? "