Skip to content Skip to sidebar Skip to footer

Widget HTML #1

Kisah Pilu Sista, Aku Dirudapaksa Ayah Tiri

Cerpen Remaja Sedih dan Banjir Air Mata



Bagaimana kau akan menceritakan hal terkelam itu? Bahkan kata pilu tidak sanggup untuk menjelaskan. Hancur berantakan, sakit dan memilikan. 

Siapa sangka, seseorang yang datang sebagai pelindung justru lebih kejam dari pada musuh penghancur. Demikian semua itu masih pantaskah disebut manusia?  Semuanya berawal pada hati itu.....

Kedatangan Ayah Tiri 


“Maura, Mama mau mengenalkan kamu pada seseorang.” Sambut Mama, menghampiri diriku yang baru pulang sekolah.

Mata ini langsung tertuju pada seorang pria yang sedang duduk di ruang tamu. Usianya kira-kira sekitar tiga puluh tahunan, kelihatan lebih muda dari usia Mama.

“Siapa dia, Ma?” tanyaku itu tidak bersemangat.

“Itu Om Reno, sayang. Teman Mama di kantor. Ayo kenalan dulu,” anjur Mama.

Aku semakin merasa tidak nyaman, ketika Om Reno memperhatikan diriku dari atas ke bawah. Apa lagi ketika pandangannya mengarah ke dada, mata itu seakan-akan tidak mau berkedip.

“Mas Reno,” tegur Mama.

“E-eh iya ....” Pria berpostur tinggi besar itu terlihat gelagapan.

“Ini pasti Maura, ya?” sambungnya berusaha mengakrabkan diri.

“Ehm,” sahutku dingin.

“Maura, duduk dulu, Nak. Ada yang harus kita bicarakan,” ajak Mama.

Perasaan ini mulai tidak enak. Mama pasti mau membicarakan hal yang sama. Sejujurnya aku merasa muak. Namun, tidak ada salahnya jika aku mendengarkan dulu apa yang Mama inginkan.

“Maura, seperti yang Mama katakan waktu itu kalau Mama akan menikah lagi.” Mama menarik napas dalam.

Aku tidak bergeming, tetapi sudut mataku menangkap kalau pria bernama Reno itu masih saja memandangi bagian depan tubuhku, kemudian dia membasahi bibirnya.

Manusia Sampah Menjijikan


“Bulan depan Mama akan menikah dengan Reno. Mama harap kamu tidak keberatan dan bisa menerima dia sebagai pengganti papamu,” sambung Mama.

Deg!

Hatiku berdenyut nyeri. Tega-teganya Mama berkata seperti itu. Bahkan, meminta untuk menggeser posisi Papa di hatiku.


Aku sama sekali tidak mengerti apa yang Mama pikirkan. Belum genap tiga bulan kepergian Papa, Mama sudah akan menikah lagi.


“Ma, sebegitu cepatnya Mama melupakan Papa?” Rasa kecewa ini tidak bisa kusembunyikan.

“Maura, kita tidak boleh berlarut-larut dalam kesedihan. Move on! Sampai kapan kamu begini terus?” sentak Mama mulai meninggikan suara.

“Sabar, Maya. Bicarakan dengan kepala dingin,” bujuk Om Reno.

“Maura memang keras kepala, Mas. Tidak pernah mengerti keinginan orang tuanya,” desis Mama memasang wajah sedih.

Tanpa malu Om Reno mengelus-elus pundak Mama di hadapanku. Membuat aku semakin muak.

“Mama hanya butuh sentuhan laki-laki, tanpa memikirkan perasaanku!”

“Maura! Jaga sikap kamu!” Mama mengangkat tangannya. Lalu menggantung di udara.

“Kenapa, Ma? Tampar, tampar saja!” teriakku dengan nada menantang.

Mama terbelalak menyaksikan sikapku yang sudah berani melawan.

“Mama egois! Sampai kapan pun Maura tidak akan menerima dia sebagai pengganti Papa!”

Aku berlari membawa tangis.

Braaak!

Kubanting pintu kamar dengan keras.

Hari-hari yang Melelahkan 


Suasana pagi ini membuatku tidak bernafsu menyantap menu sarapan yang ada di meja.

“Maura, kenapa makanannya tidak dihabiskan?” tanya Mama, sambil melirik potongan roti yang masih tersisa banyak di piringku.

“Kenyang,” jawabku singkat.

“Kamu berangkat pagi ini sama Papa, Mama ada meeting di luar dengan klien,” suruh Mama.

“Maura bisa berangkat sendiri.”

Ransel kecil berwarna merah muda pemberian Papa, buru-buru kusandang di bahu.


Tanpa kuhiraukan panggilan Mama dan tatapan tidak suka Om Reno, aku langsung bergegas mengambil sepeda yang ada di dekat bagasi mobil.

Hancur, Aku Rudapaksa Papa Tiriku 


Baru saja membuka pintu rumah, aku sudah melihat sosok menyebalkan itu.

“Baru jam segini, kenapa dia ada di rumah?” gumam batinku.

Kulewati ruang tamu dengan acuh tak acuh, pura-pura tidak melihat Om Reno di sana.

“Maura, kamu sudah pulang,” sapa Om Reno.


Aku hanya menoleh sekilas, kemudian berlalu tanpa menyahut sapaannya.

“Maura, tunggu.”

Dia menyusulku masuk ke dalam, menyejajari langkah yang sengaja kupercepat.

“Ada apa?!” sahutku ketus.


“Papa lagi tidak enak badan jadi pulang cepat, kamu bisa balurkan minyak angin ke punggung Papa?”


Dasar tidak tahu malu! Pria itu memintaku untuk melakukan sesuatu yang tidak wajar. Apa lagi sedang tidak ada Mama di rumah ini, semakin membuatku berburuk sangka.


“Tidak bisa! Jangan kurang ajar, ya, Om.” Aku menepis tangannya yang akan memegang lenganku.


“Pura-pura jual mahal kamu! Kamu kira aku tidak tahu anak-anak seperti dirimu ini suka pergaulan bebas,” tuduh papa sambungku itu.


“Jangan sok tahu!” sanggahku.
“Masih saja menyanggah. Terus ini apa?”

Om Reno menyodorkan benda pipih itu ke wajahku. Di layarnya tergambar jelas, sebuah foto terpampang nyata membuat mataku  membulat.

“Dari mana Om Reno mendapatkannya?” Aku berusaha merebut telepon genggam milik Om Reno, tetapi dengan cepat dia memasukan benda pipih itu ke dalam saku.


“Sok lugu kamu, Maura. Aku tidak bisa membayangkan ekspresi Maya, menghadapi kenyataan kalau putri semata wayangnya ternyata liar,” kata Om Reno.

“Kejadiannya tidak seperti yang terlihat. Hapus foto itu!” pintaku.

Aku tidak tahu bagaimana bisa Om Reno mendapatkannya. Sebuah jepretan yang menggambarkan ketika aku memakai pakaian terbuka dan dirangkul pria yang tidak kukenal. Kejadian itu beberapa waktu yang lalu, di club malam saat pesta salah satu teman sekolahku.

Mama memang tidak tahu kalau aku ke sana, karena aku beralasan menginap di rumah teman karena ada tugas kelompok.

“Kamu harus membayarnya, jika menginginkan ini.” Mata licik Om Reno mengisyaratkan sesuatu.

“Tidak. Aku tidak mau!” tolakku.

“Ayolah, Maura. Aku tahu kamu juga pasti menginginkannya.”


Om Reno langsung merangkul tubuhku yang meliuk seperti biola spanyol, membekap mulut ini agar tidak bisa bersuara. Percuma berontak, tenaga kami tidak sebanding.

Air mata ini hanya bisa mengalir deras saat mahkotaku di renggut secara paksa.

“Maura, ternyata kamu masih pr*w*n,”bisiknya di telingaku.


Terlambat, semua sudah terlambat. Sejak detik itu Om Reno telah menghancurkan hidupku.


“Jika kamu berani-berani mengadu, aku akan menyebarkan rekaman video ini. Kamu dan ibumu pasti akan malu!” ancam Reno


Papa tiriku meninggalkan perih di tubuh dan hatiku. Pria jahanam itu merekam, saat dia melakukan perbuatan tidak bermoral kepadaku.

Aku hanya bisa menangis.

Aku Tidak Berdaya Melawan 


Setiap Mama tidak ada di rumah, Om Reno selalu meminta diriku untuk melayani perbuatan lebih buruk dari iblis itu.

Dia selalu mengancam akan menyebarkan rekaman kami jika aku berani membuka mulut.


Batinku semakin tersiksa. Rumah yang harusnya jadi tempat bernaung dan berlindung, kini berubah seperti neraka.

“Naura, kamu sakit? Kok, mukanya pucat sekali.” tanya Mama, saat kami tengah sarapan.


“Gak tahu, Ma. Dari tadi rasanya mual, bawaannya pengen muntah. Badan Maura rasanya lemas,” sahutku.

“Kok, gejalanya kayak orang hamil,” gumam Mama.


Hatiku tecekat. Bulan ini aku memang belum haid. Harusnya sudah datang bulan tiga minggu yang lalu. Mata Om Reno menyorot tajam kepadaku.

“Mungkin masuk angin, Ma,” sela Papa tiriku itu.

“Ehm, iya, Ma. Soalnya ac di kamar Naura semalam mati, jadi pakai kipas,” sahutku takut-takut.


“Ya udah, besok kita panggil tukang servis untuk membetulkannya. Hari ini kamu tidak udah berangkat ke sekolah, Nak. Kamu bisa ‘kan ke dokternya sendirian?” tanya Mama.


“I-iya, Ma.”

Berbadan Dua Tak Diinginkan



Alat test kehamilan yang kupegang, menunjukkan kalau aku positif hamil. Dua garis merah benar-benar terlihat jelas.

“Bagaimana ini?” gumamku.

Mama pasti marah besar dan mengusirku dari rumah. Belum lagi ancaman Om Reno yang akan menghancurkan hidupku, jika aku berani membawa dia ke masalah ini.


Pikiranku kalut. Kacau dan rasa putus asa bercampur menjadi satu. Tanpa berpikir panjang, aku mengakhiri derita ini dengan caraku sendiri.

“Mama, maafkan Maura.” Bisik batin ini, sebelum menutup mata untuk selama-lamanya.


Kini kau hanya bisa meratapi kepergiannya. Satu kesalahan telah menghancurkan segalanya. Buah hatimu, cahaya hidupmu pergi untuk selamanya. 

Apakah menghukum pelaku bisa mengembalikan yang terjadi? Tentu saja tidak. Berpikirlah dengan bijak sembelum mengambil keputusan. Renungkan. 

The End

NB : Cerita ini hanya fiksi, jika ada nama tokoh dan kejadian itu hanya kebetulan saja. 

Daftar Isi Cerpen Remaja 

Indeks link Cerpen 
Judul: Korban N4fsv Papa Tiriku

Autor: Gaurina Putri Amira
Editor:  Kanya Anantasya 

Selamat membaca dan jangan lupa bahagia. Bersama Bercerita Bisa dan Terimakasih.

1 comment for "Kisah Pilu Sista, Aku Dirudapaksa Ayah Tiri "