Skip to content Skip to sidebar Skip to footer

Widget HTML #1

Kisah Kelam Remaja! Terpaksa Kabur dari Rumah Tersebab Tidak dapat Restu Orang Tua, Kok Bisa?

Kumpulan Cerita Cinta Sedih yang Bikin Baper



Demikian tidak selamanya bunga berkembang sesuai impian, adakalanya kuncup malu-malu itu runtuh karena kerasnya terpaan angin. Pun bunga cinta yang bersemi, tidak selalu tersambut indah seperti harapan, kadang semesta bercanda kan?

Ketika cinta tidak direstui, apakah debay menjadi solusi? Oh tidak! Kimpoi lari enaknya dirumah apa dijalan? Nyesek tau!

Cinta penuh misteri, rasa yang dipupuk dan dijaga sekian lama tak selalu memberi jalan untuk bersama. Banyak rintangan dan penghalang dalam setiap perjuangan.

Safitri, Gadis Pujaan Hati


Safitri, adalah gadis sekampung denganku, yang telah mencuri seluruh hari-hariku. Rambut lurus panjang sepinggang, kulit kuning langat, dan senyumnya yang selalu meneduhkah, terpancar dari bola mata indahnya, menjadikan ia memiliki tempat istimewa di hatiku.


Kami sama-sama tergabung dalam perkumpulan remaja. Setiap bulan kami bertemu secara rutin untuk membahas banyak hal untuk kemajuan kampung.


Safitri yang anggun, supel serta cantik telah menjadikan dirinya pilihan banyak remaja, menjadi seorang ketua yang memimpin Karang Taruna. Karena dia sering mempunyai banyak ide serta tidak segan-segan menolong sesama ketika mengalami kesulitan.


Dari awal sebenarnya aku minder. Orang tuaku hanya seorang buruh tani yang sehari-hari mengais rejeki dari sawah yang dimiliki orang lain, apalagi sekolahku pun tidak tinggi. Sangat jauh kondisiku dengan Safitri, gadis manis bermata bulat yang orang tuanya adalah juragan pengepul gabah yang disegani di kampung kami.


Kepiawaian orang tua Safitri dalam bisnis beras, membuatnya menjadi orang terpandang dari segi ekonomi. Apalagi, banyak warga yang bekerja di tempat penggilingan gabah miliknya.

Awal Jatuh Cinta, dari Mata Turun ke Hati


Siapa  bisa menolak getaran cinta? Saat pertemuan demi pertemuan di perkumpulan remaja menjadikanku bersemangat. Jiwa lelakiku seolah bergelora saat tatapan matanya menghujam tepat di ulu hati. Rinai asmara terus saja menghujaniku tanpa ragu hingga hatiku kuyup oleh benih-benih cinta yang hadir menyapa.

Semua ide Safitri untuk kemajuan kampung selalu aku dukung, bukan saja karena aku jatuh hati padanya tapi memang pemikiran Safitri selalu cemerlang. Hingga saat pemilihan pengurus Karang Taruna, dan aku dipercaya menjadi seksi perlengkapan, maka membuatku sering terlibat dalam setiap kegiatan kampung dan mendampingi Safitri untuk membantu menyiapkan segala keperluan.

Gayung pun Bersambut Asmara 


Siapa sangka jika cintaku tak bertepuk sebelah tangan. Gayung pun bersambut, perhatian demi perhatian yang kuberikan mendapat sambutan hangat. Safitri tidak segan menerima setiap bantuanku, bahkan tidak malu memperlihatkan kedekatan kita pada anak lain.

Kini bunga cinta yang bertebaran di taman hati tak hanya kurasakan sendiri. Getar indah itu kurasakan bersama Safitri, sang gadis pujaan hati.

Bintang-bintang bertaburan, kerlipnya mewarnai hariku yang terasa berbeda. Sinar rembulan membias sempurna gelapnya malam.


"Cie ... cie, makan-makan nih, syukuran dong kan udah jadian." Ledek teman-teman saat kami membersihkan jalan kampung bersama.

Safitri hanya tersenyum diledek begitu, pipinya merah menahan malu. Ah, betapa cantiknya gadis pujaanku itu. Wajah ayunya tersipu, rona bahagia pun terpancar sempurna, tak hanya dirasakan oleh Safitri tapi juga aku.

Bawah pohon rindang, menjadi tempat pilihan kami untuk melepas rindu. Rumput bergoyang seperti menari diterpa embusan angin sepoi. Bunga liar bergulat dengan kumbang menjadi panorama indah di depan mata.


Deru nafas kami memburu, menahan gejolak rasa rindu yang belum tuntas. Tanganku menggenggam tanganya, memberi keyakinan bahwa kini dia tak sendiri, ada aku yang akan selalu setia disampingnya.


"Fit, kamu ga malu jalan sama aku?" tanyaku padanya, di suatu senja yang akan segera kembali ke peraduannya. Bias sinar jingganya menyapu wajah Safitri hingga nampak berkilau keemasan. Rambutnya melambai tertiup angin sore yang berembus pelan.

"Kenapa mesti malu sih Ga, ya enggak lah," jawab Safitri dengan senyumnya yang khas, dihiasi lesung pipit di pipi sebelah kiri.

"Tapi Fit ... a ... aku," terbata kata-kata ini keluar dari mulutku.

"Percayalah, aku bersedia berjuang bersama, jika kamu memang ingin melangkah lebih jauh."

Lega rasanya, aku tahu orang tuanya mungkin tidak akan menerimaku. Tapi jika Safitri bersiap menjadi pendampingku, maka apapun akan kulakukan agar dia bahagia.

Bukankah kebahagiaan itu datangnya dari hati? Saat dua insan terpaut cinta yang kuat, maka halangan dan rintangan tentu bisa dilalui dengan lebih mudah, asal selalu bersama.

Aku tidak akan menyia-nyiakan Safitri, perbedaan demi perbedaan akan aku hadapi.

Berbekal Niat yang Kuat, Aku Melamar Safitri



Tidak terasa, benih cinta yang terus dipupuk itu kini telah tumbuh subur. Bunga-bunganya bermekaran indah mewarnai hari-hari bahagia kami. Tak ada sedetikpun waktu yang terlewati begitu saja tanpa aroma cinta.


Dua tahun sudah kedekatan kami, aku pun berniat melamar Safitri. Aku merasa sudah cukup dewasa. Sudah mempunyai pekerjaan tetap walaupun hanya bekerja di pabrik tekstil. Uang yang kukumpulkan selama ini mungkin sudah bisa menjadi modal untuk membangun sebuah rumah tangga.


Berbekal bulatnya tekad dan pondasi cinta yang kuat, aku melamar Safitri secara pribadi, sebelum melangkah lebih jauh lagi.


"Fit, apa kamu bersedia kalau aku melamarmu?" kutanyakan hal ini, karena selalu mengganggu pikiran dan perasaanku, tersebab keinginan untuk menjalin sebuah ikatan cinta yang halal.


"Datang saja kerumahku Ga, katakan niat baik kita pada orang tuaku, siapa tahu nanti Bapak dan Ibu setuju. Bagiku harta bukan segalanya, karena semua bisa dicari, yang terpenting adalah hati yang tulus ikhlas dan rela berjuang bersama dalam meraih kebahagiaan." Jawabannya ini sungguh membuatku mantap untuk melamarnya.


Anak rambut yang menutup kening Safitri kusibak, tercium aroma shampo yang wangi. Hatiku berdebar memandangi wajah ayu Safitri sedekat ini. Ingin rasanya mencium dan menuntaskan segala hasrat di dada, tapi harus kutahan, tunggu sebentar lagi sampai hubungan ini menjadi halal.

Suasana di Rumah, Suatu Malam.


Aneka persiapan aku lakukan. Bapak dan Ibuku kubelikan pakaian batik yang sama motifnya. Bahkan aku dan Safitri pun akan mengenakan pakaian yang senada, kombinasi batik Solo dan kain polos berwarna milo. Terbayang sudah bagaimana cantiknya Safitri malam ini.

"Baju ini untuk apa Angga?" kata Ibu penuh rasa heran, saat menerima baju batik berwarna tosca yang masih terbungkus rapi di plastik bening.

"Itu nanti dipakai Bapak dan Ibu untuk melamar Safitri Bu," kataku bersemangat.

"Kalau menurut Bapak ya Ga, sebaiknya kau cari saja wanita yang sepadan dengan kita." Suara Bapak memecah keheningan. Walaupun suaranya lembut tapi terasa menghantam ulu hati.

Sadar betul jika status sosial keluargaku dan Safitri berbeda jauh, apalagi bapaknya Safitri pernah marah saat memergoki kami jalan berdua, tapi ....

"Apa Bapak tidak setuju jika Angga menikahi Safitri?"
"Bukan tidak setuju Nak, tapi Bapak minder. Takut lamarannya ditolak."
"Kita usaha dulu ya Pak."


"Kamu sudah yakin Nak?"
"Insyaalloh Pak."
"Kau harus punya dua sisi hati, sisi bahagia jika lamaranmu diterima dan juga sisi legawa jika nanti lamaranmu ditolak."


Bapak tersenyum, Ibu pun sepertinya sependapat dengan Bapak. Bapak adalah orang tua yang bijaksana, tidak pernah memaksakan kehendak, juga suka menghargai pendapat orang lain. Sungguh, aku beruntung memiliki bapak sebaik beliau.

Derap Malam yang  Kelam 


Pak Karta membuang muka saat aku melamarnya. Tidak ada sambutan baik dari keluarga Safitri. Bahkan hidangan makanan pun tidak sediakan, padahal aku tahu keluarga ini pasti mampu menyediakannya.


"Maaf Pak Saleh, Safitri sudah punya jodoh yang sepadan. Dia anak dari teman bisnis saya," kata bapaknya Safitri yang terasa meremas seluruh hatiku, hingga ke tulung rusuknya.


Tatapannya yang terasa meremehkan kedatangan kami, membuat orang tuaku bungkam. Tak berani melanjutkan lamaranku.


Safitri terlihat menunduk, matanya berkilau menahan tetesan air yang siap tumpah. Mungkin dia sedih karena bapaknya menolak mentah-mentah lamaranku.


"Maaf Pak, tapi saya dan Safitri saling mencintai," ucapku.
"Saya tidak butuh cinta kamu!" jawab Pak Karta.
"Pak, saya ...."
"Angga, mari kita pulang," ucap Bapak.

Bapak segera memohon diri, pulang dengan membawa rasa malu dan kecewa. Bapak dan ibu terdiam sepanjang jalan pulang. Entah apa yang ada dalam pikiran mereka.

"Sabar ya Nak, mungkin jodohmu bukan Safitri," kata ibu sesampai di rumah.

Aku segera masuk kamar. Ingin bersembunyi dari kenyataan.

"Ah, kenapa harta menjadi penghalang cinta." teriakku dalam hati.

Sebuah lagu yang dibawakan Dewa 19 yang berjudul Cukup Siti Nurbaya, kuputar cukup keras, mewakili isi hatiku yang kacau saat ini.

Kling, terdengar ponselku berbunyi, ada sebuah pesan dari Safitri.

"Ga, aku siap kau bawa lari."


Aku melongo, sungguh tak percaya jika Safitri memang mencintaiku sekuat ini, hingga rela jija kita harus pergi karena tidak mendapat restu.

"Baiklah mari kita susun strategi' Kubalas pesan itu."

Pagi masih gelap, karena mentari belum muncul. Suasana di stasiun pun masih lengang. Kugenggam tangan Safitri dengan dengan tangan kanan, sementara tangan kiri menenteng sebuah tas besar.

"Sudah siap?" tanyaku pada gadis pujaan. Safitri tersenyum seraya mengangguk.


The End

Daftar Isi Cerpen


Kumpulan Cerpen Indeks Link

Judul : Sakit, Cintaku Terhalang Restu Orang Tua

Oleh: Beti Atina Hariyani


Selamat membaca dan jangan lupa bahagia. Bersama Bercerita Bisa dan Terimakasih.
betyalope Menulis, adalah sarana saya menyampaikan impian dan berbagi kebaikan.

Post a Comment for "Kisah Kelam Remaja! Terpaksa Kabur dari Rumah Tersebab Tidak dapat Restu Orang Tua, Kok Bisa? "