Skip to content Skip to sidebar Skip to footer

Widget HTML #1

Kisah Kelam Mama Muda, Aku Dicampakan Ketika Hamil Besar

Kumpulan Cerita Cinta  Mama Muda 



Habis manis sepah ditendang. Bersimbah air mata membasahi pipi dan hati yang kering kerontang lantaran, tercampakan. Perih tiada terkira. 

Tahukah kamu apa paling menyakitkan menjadi mama muda teraniaya? Adalah saat dihancurkan oleh suami tercinta. 

Aku Rela Tidak dapat Restu Orang Tua, Balasannya Aku Dicampakkan Suami Saat Hamil  Besar 


Begitu tega Mas Fatir meninggalkanku di jalanan, sedangkan saat ini aku hamil besar mengandung darah dagingnya.

Pantas saja tiba-tiba ia mengajakku jalan-jalan tak seperti biasanya, ternyata dia membuangku begitu saja. Sungguh tega kamu mas!

Berjalan kesana-kemari tak tentu arah, mau pulang tetapi, pulang kemana? Karena sejak kami memutuskan kabur, Mas Fatir selalu pindah-pindah tempat, karena tidak sanggup membayar tempat tinggal.

Sungguh malang nian nasibku sudah hamil besar, dicampakan suami begitu saja.

Aku rela tidak dapat restu orang tua dan kabur bersamanya tetapi, balasan yang kuterima sungguh menyakitkan.

Padahal tadi aku cuma pamit ke toilet sebentar. Namun, pas aku kembali, mobil yang di kendarai Mas Fatir sudah tidak ada.

Aku bingung harus kemana, cuaca hari ini sangat panas. Walau hari sudah mulai gelap, tetap saja aku kegerahan.

Aku duduk di kursi panjang mengibas-ngibas tangan ke wajah agar rasa gerah sedikit menghilang, mengedarkan pandangan ke segala arah. Di ujung sana ada sebuah supermarket aku bergegas menghampiri untuk membeli minuman, kerongkonganku serasa kering.

Ketika sedang memilih tiba-tiba perutku sakit, aku bergegas ke toilet, perutku terasa mules, mungkin karena tadi sebelum berangkat aku makan-makanan pedas jadi perutku memberontak.

Entah berapa lama aku di toilet, saat aku keluar hari sudah gelap, pintu supermarket sudah di kunci. Aku berusaha membukanya tetapi, nihil. Pintunya sudah terkunci. Percuma saja sekuat apapun aku membukanya pasti tidak akan terbuka.

Berjalan menyusuri makanan yang berjejer, cacing dalam perut berdemo meminta diisi. Aku mengambil sebungkus cemilan, lalu aku mencatatnya di buku kecil yang selalu kubawa.

Setelah itu aku mencari tempat untuk tidur, sebelumnya aku ke kamar mandi untuk buang air kecil, setelah keluar dari wc di sampingnya terdapat sebuah ruangan, perlahan aku memutar knop pintu dan tidak di kunci, lalu aku masuk. Di dalamnya terlihat barang-barang entah apa isinya? Kardus pun menumpuk ada yang masih terlipat rapi.

Lalu aku mengambil kardus yang terlipat, aku susun menjadi alas tidur. Tempat ini lumayan nyaman daripada aku harus tidur di luar dan kedinginan.

Sudah Tau Hamil, Aku Dicampakkan Begitu Saja, Hingga Terbuang di Jananan 


Pagi-pagi sekali aku mengambil cemilan untuk sarapan, setiap barang yang aku ambil pasti aku catat, nanti setelah aku punya uang, aku akan membayarnya.

"Bersabarlah sebentar, ya. Nak." Aku mengusap perutku mencoba berdialog dengan malaikat kecil di dalam sana.

Setelah perut sudah terisi aku masuk ke toilet, takutnya ada penjaga yang melihatku di sini. Aku berjalan perlahan, sedikit kesusahan, karena perutku yang membuncit membuat jalanku melambat.

Terdengar ada yang membuka kunci, jantungku berpacu lebih cepat saat terdengar orang berbicara.

"Masih pagi. Tapi, jalanan sudah macet banget."

"Huh, hampir saja aku terlambat." Samar-samar terdengar orang yang berbicara. Entah siapa? Mungkin penjaga.

Mengedarkan pandangan sambil mempercepat langkah jarak toilet yang lumayan dekat terasa jauh karena kepanikan. Untunglah aku sampai lebih dulu ke toilet sebelum orang itu masuk.

Menunggu sebentar, setelah terdengar ramai di luar, aku keluar dari toilet seolah-olah aku baru saja datang dan mengunjungi toilet.

Aku putuskan jalan-jalan di luar supermarket, duduk di kursi panjang mengamati kendaraan yang lalu lalang, sungguh malang nian nasibku keadaan hamil besar tetapi, suami malah menelantarkanku begitu saja. Dasar suami tak bertanggung jawab.

Dimana janjinya yang akan menjaga dan melindungiku? Aku terlalu percaya dengan kata-kata manisnya hingga aku menentang kedua orang tuaku sendiri. Apa ini karma? Ah, entahlah.

"Vivi, ya?" Suara cempreng membuyarkan lamunanku.

Aku berdiri menatap wanita sederhana di hadapanku, kurasa aku tidak mengenalnya.

"Aku bukan Vivi. Tapi, aku Vi---"

"Oh iya, kebetulan aku ketemu kamu, aku mau nitip bunga mawar ini, tolong jaga ya, kamukan ahli banget dalam merawat tanaman." Wanita itu memotong bicaraku. Lalu ngomong panjang lebar sambil menyodorkan pot berisi setangkai pohon kecil. Aku mengambilnya dengan perasaan heran.

"Aku buru-buru, ada urusan."

"Kalau ada apa-apa hubungi aku." Ia memberikan kartu nama Lalu ia buru-buru pergi.

Aku melongo melihat punggungnya yang kian menjauh, wanita itu masuk ke dalam mobil lalu kuda besi itu melaju, berbaur dengan pengemudi lain.

"Benar-benar wanita aneh!" gerutuku menatap pot di pangkuanku. Lalu aku membaca kartu nama yang ia sodorkan tadi 'Anita sukmaningsih' itulah nama yang tertera dalam kertas segi empat itu.

Aku merasa heran dengan wanita itu, mungkin dia salah orang kali ya.

Aku duduk sebentar mengamati tanaman dalam pot yang hanya berdaun empat biji. Lalu beranjak berdiri, bingung harus kemanakah aku pergi, aku tidak punya tujuan, kalau pulang ke rumah orang tua rasanya tidak mungkin, mau di taro di mana mukaku?

Cuaca sudah mulai panas, matahari meninggi, perutku pun keroncongan. Kuputuskan jalan-jalan sebentar menenteng pot pemberian wanita yang tidak kukenal tadi.

Aku mulai lelah duduk sebentar, lalu beranjak pergi kuputuskan kembali ke supermarket itu lagi karena tidak ada tempat lain.

Terpaksa Melahirkan Anakku di Jalanan 


Sudah beberapa hari aku tinggal di supermarket, untungnya tidak ada yang mencurigaiku. Aku masih aman.

Namun, setiap keluar dan masuk supermarket, serasa ada yang selalu mengamati dari jauh. Entah cuma perasaanku saja.

Dari pagi perutku terasa mules dan sakit tetapi, sakitnya sebentar-sebentar, hilang sakit lagi begitu terus menerus. Tetapi, aku tahan.

Malam ini perutku sakit sekali atau mungkin aku lapar? Aku tertatih berusaha berdiri. Melangkah keluar dari ruangan, perlahan kulangkahkan kaki, tangan memegang punggung yang terasa sakit juga. Saat aku mengambil makanan dari rak yang berjejer, tiba-tiba sakitnya tidak tertahankan sampai aku terjatuh ke lantai, aku memegang perutku yang teramat sakit luar biasa. Mencengkram kuat pakaian yang kukenakan.

"Awww! Sakit!" Aku menjerit kesakitan.

"Tolong!"

"To-lo-ng." Tenagaku semakin melemah, menahan rasa sakit yang kian mencengkram.

Suasana hening, aku terus berteriak meminta tolong entah ini jam berapa. Pandanganku mulai mengabur perlahan mulai menggelap.

***

Aku terbangun di ruang serba putih, meraba perut yang tadinya membuncit seperti balon sekarang sudah rata.

Aku panik bukan main, segera bangun dari tempat tidur, melepas paksa selang infus yang tertusuk di tangan. Namun, saat menapakan kaki perutku terasa nyeri.

"Ibu, mau ke mana? ibu jangan banyak gerak dulu." Wanita berseragam putih memapahku ke pembaringan.

"Mana bayiku?" tanyaku panik.

"Jangan kwatir, bayi Ibu ada di ruangan sebelah."

Mendengar jawaban suster aku merasa lega.

Namun, kelegaanku hanya beberapa detik, aku mulai resah siapa yang akan membayar biaya persalinanku.

"Oh iya sus, siapa yang bawa saya kesini?" tanyaku. Karena seingatku pas aku mengerang kesakitan aku masih berada di supermarket sampai akhirnya aku tak sadarkan diri, setelah itu aku tidak inget apa-apa.

"Suami Ibu," jawab suster sambil mengecek kondisiku.

Aku melongo mendengar jawaban dari suster, benarkah Mas Fatir datang dan membawaku ke sini? Kalo memang benar aku merasa bahagia, ternyata dia masih mau bertanggung jawab.

Setelah selesai mengecek, suster itu berpamitan, "Ya sudah, saya tinggal dulu ya. Bu."

"Nanti putri Ibu akan saya antarkan kesini, agar Ibu bisa menyusuinya," timpalnya setelah itu ia berlalu keluar ruangan.

Selang beberapa menit suster itu kembali lagi dengan menggendong bayi di pelukannya. Lalu ia mengalihkan bayi itu kepangkuanku.

Rasanya tenang sekali melihat malaikat kecil di gendonganku, matanya sipit, hidung bangir, wajahnya mirip sekali dengan Mas Fatir.

Bibir mungilnya sedikit terbuka dan mengeluarkan suara yang melengking.

Mungkin ia haus, aku segera memberikan asi untuknya, perlahan ia menyedot putingku, ia menyusu dengan lahap.

Aku terus memperhatikan putri kecilku yang masih menyusu dengan rakus.

"Oh, iya. Bu. Ini suami Ibu sudah datang."

Aku sedikit mendongkak, sedikit memicingkan mata, apa benar ini suamiku? Kok, bisa berubah rupa hanya beberapa bulan tidak bertemu.

"Maaf, Sus. Sebenarnya saya bukan suaminya." tuturnya. Seakan tahu keherananku

"Oalah, tak kira suaminya, soalnya kan kemarin, mas yang bawa Ibu ini kesini."

Lelaki itu hanya tersenyum menanggapi suster, lalu ia menjelaskan secara detail apa yang sudah terjadi kemarin, bahkan lelaki ini juga yang membiayai persalinanku. Disatu sisi aku sangat senang karena masih ada orang baik yang mau menolongku. Namun, aku juga merasa sedih mendengar kenyataan bahwa bukan suamiku yang membawaku kesini.

Padahal aku sudah senang sekali, kukira Mas Fatir yang membawaku ke rumah sakit, ternyata bukan.

Aku menyesal telah mempercayai lelaki tak bertanggung jawab. Aku telah di butakan oleh cinta, hingga aku tak mendengarkan perkataan orang tua.

Nasi sudah menjadi bubur, sekarang aku tidak tahu harus kemana membawa bayi kecilku ini, kembali ke rumah orang tua itu sungguh mustahil. Namun, harus kemanakah aku sekarang.

Melangkah tanpa arah, menelusuri trotoar di bawah terik matahari yang semakin menyengat, cacing di perut mulai demo minta di isi, kerongkongan terasa kering.

Sejenak aku berhenti mengistirahatkan kaki yang mulai lelah. Kutatap bayi dalam pangkuanku, ia terlelap begitu tenang, sekarang dia adalah satu-satunya penyemangatku. Namun, bagaimana aku akan membesarkannya sendirian bahkan tanpa arah tujuan.

Aku mencoba menghampiri warung makan untuk melamar pekerjaan siapa tahu mereka kekurangan tenaga, aku tidak meminta upah banyak hanya diberi makan saja aku akan sangat berterima kasih. Tetapi, sayang tidak ada yang mau menerimaku.

Penolakan mereka selalu sama, "Kami tidak menerima pekerja kalau membawa anak."

Aku semakin lemas, rasanya aku ingin mati saja, begitu berat cobaan ini.

Melangkah tanpa arah tujuan, bayiku juga sekarang rewel, terus menangis tanpa henti.

Aaaaahhhh

Kendaraan beroda empat datang tiba-tiba membuatku kaget, hingga aku terjatuh. Untung aku tidak tertabrak karena pengendaranya menghentikan mobilnya.

"Mba tidak apa-apa?"

Aku masih sibuk memperhatikan bayi dalam pelukanku takutnya ia yang kenapa-kenapa.

"Sini saya bantu, Mba," ucapnya lagi.

Aku meraih uluran tangannya seraya melihat siapa yang membuatku terjengkang begini.


"Mba, Viane."
"Amira."

Aku terkejut, ternyata pengendara itu Amira--adiku.

Amira membantuku berdiri, untungnya aku tidak kenapa-kenapa, hanya telapak tangan saja yang terluka.

Amira berniat mengajaku ke dokter, tetapi aku menolaknya. Lalu, ia mengajakku ke restoran dekat sini.

Aku menceritakan perihal yang kualami kepada Amira. Setelah mendengar semuanya ia mengajakku pulang ke rumah. Sontak aku menolak, aku malu untuk bertemu Ayah dan Ibu.

Amira terus membujukku, pada akhirnya tidak ada pilihan lagi, aku ikut pulang dengan Amira.

Aku pasrah jika nanti Ayah dan Ibu akan mengusirku, karena aku sudah menyadari semua kesalahanku.

Ternyata  dugaanku salah,  mereka justru menerimaku lagi dan memaafkan segala kesalahanku.
Dalam hati aku berjanji tidak akan mengulangi kesalahan yang kedua kali, berusaha memperbaiki kesalahan yang telah kubuat.


The End 

Daftar Isi Cerpen Mama Muda 


Indeks link Cerpen Mama Muda 

Judul    : Dicampakan Ketika Hamil Besar
Author : Anindya
Editor   : Kanya Anantasya 

Selamat membaca dan jangan lupa bahagia. Bersama Bercerita Bisa dan Terimakasih




Post a Comment for "Kisah Kelam Mama Muda, Aku Dicampakan Ketika Hamil Besar"