Skip to content Skip to sidebar Skip to footer

Widget HTML #1

Hotel Angker! Aku Terjebak di Alam Lain, Cerita Horor dan Misteri Bikin Bergidik

Kumpulan Cerita Misteri dan Horor Terseram 



Tepat tengah malam saat rembulan malu menampakan diri. Dalam ruangan hotel, denting jam berbunyi... 

Ting! tong! ting! tong ....

Suara jam tua di kamar ini, mengusik kenyamannan tidurku. Padahal waktu masih jam dua belas malam, 'dasar jam tua' umpatku.

Entah sudah berapa lama aku tertidur, namun pagi belum juga datang. Akhirnya aku memutuskan untuk bangun, sekilas aku melirik jam tua. 'Ya tuhan bagaimana bisa masih jam dua belas malam' pikiran ini melayang.

Lalu yang tadi berbunyi dan mengganggu tidurku, itu apa, mungkinkah jam tua ini mati. Atau aku tadi hanya mimpi. Ah, sudahlah lebih baik aku keluar dari kamar hotel ini.

Saat membuka pintu, yang terlihat hanya gelap. Tidak ada penerangan sedikitpun, bergidik rasanya diri ini melihat kegelapan yang seakan tiada ujungnya. Akupun menutup kembali pintu, mencoba mencari apa yang bisa aku lakukan untuk menghilangkan bosan.

Jam Tengah Malam 

Saat sedang menatap jam tua, tiba-tiba lolongan srigala bersahut-sahutan membuat bergidik bulu roma. Diri ini yakin meski dalam keadaan mabuk, bahwa semalam aku masuk kedalam hotel tepat pukul sebelas malam dan tentunya hotel bintang lima yang terpilih. Karena, aku anti jika harus memilih hotel ecek-ecek.

Brrreeek!

Suara pohon tumbang menganggetkanku, diriku merasa seakan-akan sedang camping ditengah hutan.

Aku masih setia diatas ranjang, ditemani cahaya yang tamaram dari lampu yang baru aku tau ternyata hanya lima wat. Aku tersenyum simpul membayangkan tidur dalam waktu yang lama ternyata justru hanya satu jam.

Kriiieeet ... baaalllm ....

Jantungku hampir copot mendengar suara pintu yang ditutup scara kasar. Untunglah, diri ini masih muda.

Tok! Tok!

Awalnya terdengar ketukan dengan ritme pelan. Namun, berubah menjadi sebuah geduran, dan 'bruak' suara pintu berhasil didobrak. Langkah kaki memasuki sebuah ruangan terdengar sangat jelas, ditambah suara rintihan yang membuat bulu kuduk meremang.

Aku diam, diatas ranjang, mencerna semua yang terjadi. Saat suara-suara itu menghilang, diri ini mencoba memjamkan mata, baru sekejap aku memjamkan mata. Tiba-tiba, terasa sebuah sentuhan lembut dikepala.

Aku sangat berharap ini semua mimpi. Meski, terasa sangat nyata. Rasanya terlalu sempurna untuk sebuah halusinasi. 'Mungkin efek alkhl, atau bahkan  sb'  yang aku pakai,  pikirku.

Sentuhan itu masih terasa, bahkan sekarang berubah menjadi cengkraman di rambut.

Saat diriku membuka mata, betapa terkejutnya terlihat orang tua paruh baya, tengah berbaring disampingku. Genta mengalir dari luka di kaki, dan sebuah r0bekan di perut yang memperlihatkan isi dalamnya, aku hampir menjerit sebelum akhirnya dia membekap mulutku  dan memeluk karena tau aku akan memberontak.

Genta merembes kebaju yang aku kenakan, panik seketika, sekujur tubuh gemetar. 

"Tenanglah dan diam, jika ingin selamat!"

Perkataannya  dingin mampu membuatku diam membeku seketika. Melihat aku  tidak lagi berontak, dia mulai melepaskan bekapan tangannya dan merenggang secara perlahan, mungkin sambil menahan perih dilukanya.

Aku diam dan menunggunya untuk berbicara menjelaskan apa yang terjadi. Ia masih mematung dingin tidak bergeming. 

"Pak, sebenarnya apa yang terjadi?"

Terdengar suara bassku mengalun memenuhi ruangan.

Bruk!

Tak! Tuk! Tak! Tuk!

Derap langkah seseorang mengalun di koridor.

'Shuuttt ....'

"Pelankan suaramu!"

Orang tua itu menyuruhku mengobati lukanya. Perlahan aku berjalan menuju  lemari,tempat peralatan yang di tunjuknya. Betapa aku  dibuat kaget dengan adanya peralatan medis lengkap ditempat seperti ini.

Banyak pertannyaan membuncah di otakku, setelah hampir sepuluh menit mencari akhirnya aku menemukan yang butuhkan.

Aku membawa semuanya, ditengah cahaya tamaram dibantu dengan lampu sorot aku mulai mengobati. Tanpa 0bat b1vs yang membuatku menyumpal mulutnya menggunakan kain, agar saat merasakan sakit dia tidak bebalik menggigit bibirnya.

"Ini akan sangat menyakitkan," bisikku.

Setelah mengetahui golongan darahnya, aku mulai mencari kantong darah yang cocok lalu mulai memasangnya, begitu juga dengan infus.

Sejujurnya aku  sangat salut akan perjuangannya untuk bertahan hidup. Terlihat jelas dia menahan sakit, saat aku mulai membersihkan lukanya.

Telihat bulir bening menetes di sudut matanya, aku mulai menjahit perlahan luka di kakinya. Sesekali terdengar erangan dan tubuh yang sedikit bergerak.

Ngilu mendengarnya. Mampukah ia  bertahan, dengan rasa sakit dirasakan? Keluhku dalam hati. 

Setelah selesai dengan sembilan jahitan, aku mengarahkan lampu sorot kearah perutnya, terlihat jelas isi dalamnya. Ternyata satu ginjalnya telah hilang, aku memasukan kembali yang terkoyak kemudian mulai menjahit.

Terlihat napasnya tersengal  dan lemas. Kemudian tidak  sadarkan diri. Mungkin karena rasa sakit yang harus dia tahan. Setelah selesai, dan mendapatkan tiga puluh dua jahitan.

Bergegas aku membereskan peralatan dan meletakannya di atas meja. Kemudian mengatur tetes infus agar tidak terlalu cepat habis, karena ini adalah infus satu-satunya, sedangkan kantong darah aku tidak perlu khawatir, karena darah kami sama sehingga aku bisa mengambil darahku jika memang diperlukan.

Entah sudah berapa lama, anehnya  terlihat jam masih tetap pukul dua belas malam, apakah jam itu rusak aku tidak tau. Yang jelas jam tanganku juga menunjukkan waktu yang sama.

Entah berada dimana sekarang HP kersayangku. Satu yang jelas pihak  hotel melarang tamu membawa HP masuk ke dalam kamar. Mereka sengaja menyediakan tempat penitipan.

Ada sedikit rasa sesal dihati telah melakukan kesalahan. Seandainya aku dalam keadaan sadar,  mungkin aku tidak akan berada disini.

Sebuah Dinding Lorong  Gelap 

Bagi mereka apakah  aku dokter muda  bodoh?  Menghancurkan reputasi yang telah dibangun. Menggunakan 'terlarang', benar-benar suatu ke khilafan. Awalnya aku berpikir akan bisa beristirahat dan mendapatkan ketenangan dengan cara seperti itu. 

"Nak ..., ayo cepat pergi dari sini!"

Sebuah suara memanggil membuyarkan lamunanku seketika. Sedikit kaget, kemudian menoleh.

"Tapi bapak masih terluka."

"Jangan khawatirkan aku kamu hanya perlu pergi dari sini,"

Melihat tatapannya akupun menurutinya, aku berjalan mengendap-endap memasuki sebuah lorong sempit. Baru saja aku masuk kedalam lorong, terdengar suara pintu di dobrak dan suara tembakan yang memekakkan telinga.

Mataku berembun, tidak sanggup rasanya kaki melangkah. Orang tua itu pasti sudah mati tertembak. Sekarang menggema hanya suara langkah kaki dan teriakan orang mencariku.

Masih diam, aku tidak bergerak ataupun bersuara. Sangat takut.

Setelah langkah kaki terakhir meninggalkan ruangan, aku buru-buru berjalan. Ternyata lorong ini berada di dinding, aku hanya bisa berjalan sambil berjongkok karena ruangan ini sangat pendek dan sempit. 

Selanjutnya pas dibagian sejajar dengan mata adalah kaca  sedikit gelap. Tapi bisa membuat kita melihat apa yang terjadi di luar.

Kaca ini terpasang disepanjang gedung ini, orang-orang yang melihat pasti mengira  adalah design tersendiri.

Saat berjalan aku melihat cahaya redup di dalam ruangan, aku duduk dan melihat apa yang terjadi. Ternyata ada beberapa orang tengah melakukan operasi pada  seorang wanita. 'Mungkin ini adalah tempat penjualan 0r94n' pikirku.

Mencoba menerka, bahwa tempat ini pasti jadi tempat para penculik menjual para korbannya.

Lantas siapa  bapak tua yang aku obati, bagaimana dia bisa tau ruangan rahasia ini? Bahkan  lainnya tidak ada yang tau.

Kaki terasa keram, aku mencoba memaksakannya untuk terus berjalan. Saat akan melangkah tiba-tiba pintu terbuka, segerombolan laki-laki berjumlah tujuh orang berpakaian putih seperti perawat memasuki ruangan, dengan gagahnya.

Mereka melaporkan, bahwa mereka kehilangan jejakku. Terlihat HP yang mereka pegang di berikan kepada seseorang. Aku kenal sekali dengan HP yang sedang mereka otak atik itu, yah itu adalah HP milikku.

Jika pulang kerumah aku takut, mereka mengetahui keberadaanku. Melapor polisi, sepertinya juga bukan ide yang baik, karena ini pasti akan dibuat serapih mungkin.

Justru aku akan ditangakap karena  pengguna. 'Siapa yang akan mempercayai orang tidak sadar? Keluhku lagi meruntuki. 

Perlahan aku melangkah, meninggal mereka yang tengah sibuk dengan HP milikku. Dalam pikiran hanya ada sebuah kata, "apapun yang terjadi setidaknya. Jangan sampai aku mati konyol, karena takut mencoba."

Pesta Kegelapan Tengah Malam 

Saat sampai diruangan yang terlihat kerlap-kerlip, aku melirik ternyata, di sini adalah tempatku 'memakai' tadi. Berarti club ini bekerja sama dengan hotel tersebut? Ada sedikit  berbeda disini, terlihat orang-orang yang berjoget, seperti tidak memiliki gairah hidup. Bahkan mereka terllihat banyak menunduk.

Saat kaki akan melangkah, tiba-tiba tatapan dari seorang wanita sangat menusuk. Seakan dia mampu melihatku. Aku terdiam, takut itu pasti.

Bulu kuduk terasa meremang, seharusnya di sini tidak ada angin, mengapa rasa dingin di tengkuk tiba-tiba menjalar keseluruh tubuh? 

"Apakah kamu orang baru di sini?"

Deg!

Rasanya, jantung berhenti berdetak,  sedetik kemudian jantung berdetak sangat cepat sekali. 

Sekuat tenaga aku berlari. Sayangnya itu hanya ada di dalam khayalanku. Kaki terasa dipaku sehingga sulit digerakkan.


Saat tangan itu menyentuh pundak, terasa dingin menjalar semakin menjadi. Rasanya ingin aku berteriak. Hanya, jangankan  berteriak mengeluarkan suara bercicit pun aku tidak sanggup.

"Mas, kamar berapa? Nanti saya antar. Mas terlihat tidak enak badan."

Astaga aku menggigil, mencoba menahan diri. Saat berbalik, justru dialah yang terlihat tidak enak badan. Bagaimana tidak wajah pucat dan sekitaran mata berwarna hitam seperti kurang tidur. Justru lebih terlihat mengerikan dibanding bapak yang aku obati.


Bingung, harus apa yang aku katakan. Gadis itu masih terus menatapku dingin.  Perlakuannya  justru hangat. Aku mengikutinya berjalan menuju kesebuah ruangan.

Ruangan ini terlihat lebih besar, meski masih dengan cahaya lampu yang tamaram. Terlihat bersih, gadis tadi memasang alas berwarna putih diatas tempat tidur, yang justru terlihat seperti kain kapan bagiku.

Kemudian aku bertanya dengannya mencoba untuk mengakrabkan diri, tapi dia tidak menjawab. Dia hanya berbicara, seperlunya. 'Mungkin dia tipe gadis pendiam' batinku.


Tuk! tak! tuk! tak!

Langkah kaki, terdengar kembali. Aku langsung, bersembunyi di dalam lemari. Terdengar pintu di dorong.

Suara khas seorang pria terdengar mengalun, menyapa gadis tadi. Entah apa yang mereka bicarakan yang pasti setelah lelaki itu keluar dan menutup pintu. Gadis itu menangis, dengan tangisan yang sangat memilukan. Aku sampai merinding dibuatnya.

Sedikit melirik jam di dinding melalui celah lemari. Terlihat pukul dua belas malam, aku sedikit frustasi. 'Bagaimana mungkin semua jam di sini rusak' batinku.

Sedangakan aku merasa  sudah sangat lama berada di sini. Gadis itu masih saja menangis, sempat terlintas dibenak untuk keluar dan menenangkannya.

Saat akan keluar, tiba-tiba saja wanita itu tertawa dengan seringai mengerikan dan mata terlihat putih. Aku terdiam, siapa wanita itu apakah dia kerasukan. Aku harus pergi tapi aku takut jika dia mencelakaiku.

Bruk!

Aku terjengkang kebelakang karena kaget, tiba-tiba gadis itu menabrakan dirinya ke lemari tempatku berada. Ternyata dalam lemari ini ada pintu rahasia kedalam sebuah ruangan. Gadis tadi masih saja menghantamkan dirinya ke lemari.


Aku berjalan memasuki ruangan, sepertinya ini adalah ruangan rahasia. Terdapat banyak sekali orang tanpa nyawa di sini. Aku yakin ini adalah tempat pembuangan jasad.

Bau busuk sangat menyengat membuatku muntah-muntah. Tempat pembuangan  ini sangat membuatku prihatin, bahkan belatung-belatung dengan bebasnya keluar masuk di dalam jasad yang sedang menjadi santapan mereka.

Seram? Oh tidak. Di sini justru aku prihatin, turut merasakan kasihan pada keluarga yang mereka tinggalkan apalagi jika tau anggota keluarga mereka telah tiada dan tidak di makamkan secara layak.

Kemudian aku berjalan, berusaha mencari jalan keluar. Suara benturan tubuh gadis itu dengan lemari masih terdengar, bahkan diselingi dengan tawa dan tangisan.


Saat sampai di tempat paling pojok ruangan, aku termenung mendengar suara rintihan. 

Angin berhembus, membawa bau yang lebih wangi. Sejenak diri ini memejamkan mata menikmati wangi bunga.

Lagi-lagi itu tidak lama, karena aku sadar ini adalah ruangan tertutup, mana mungkin ada angin.

Saat pikiran mulai menerka-nerka aku langsung membuka mata.

Benar saja, gadis tadi sudah ada di depanku. 'Hah, pantas saja tidak ada lagi suara benturan. Tapi mengapa dia bisa ada di depanku, padahal tadi aku hanya sendirian' batinku.

"Mbak, ngagetin aja," ucapku, sambil tersenyum. Berharap dia mau mengobrol bersamaku.

"Mari mas, saya antar ke kamar."

Lagi-lagi ucapannya hanya datar, membuatku merasa dia tidak menyukai keberadaanku disini. 

"Iya, tadi nona kenapa nangis?"  Mencoba merubah panggilan untuknya mungkin dia akan menjawab, pikirku.

Bukannya menjawab pertanyaanku,   justru dia  marah-marah dan mengatakan bahwa aku tidak seharunya ada ditempat ini. Padahal aku di sini juga karena ulahnya yang tiba-tiba menghantamkan diri ke arah lemari.

Kami berjalan beriringan ke arah kamar. Banyak sekali tamu di hotel, semuanya terlihat menunduk. Saat sampai di kamar, dia meninggalkanku sendirian. 

Satu hal yang aku tau bahwa kamar ini kamar berbeda lagi dari sebelumnya. Aku jadi penasaran terhadapnya.

Aku tidak menyentuh ranjang sedikit pun. Aku mencoba, mengintip ke luar jendela. Terlihat hanya gelap. Aku melirik ke arah jam, masih sama  jam seakan tidak berpindah sedikitpun.

Merasa terjebak di dalam sini, aku merindukan semuanya. Aku merindukan rutinitasku meskipun melelahkan. Ya, aku merindukannya.

Aku berjalan menyusuri kamar, membuka lemari yang terlihat kosong. Tidak ada apapun di kamar ini, aku duduk, di sudut kamar. Suara lolongan srigala terdengar mengalun-alun, di temani suara burung hantu.

Menjahit Sejuta  Luka 

Kepala terasa sangat berat, aku merasa pusing  mungkin efek 'tadi'  yang aku gunakan. Rasanya, aku ingin memecahkan kepalaku. Sakit tidak tertahankan membuatku kesal.

"Mas, ayo ikut saya."

Hah, gadis itu lagi. Apa dia tidak tau kepalaku terasa sangat sakit. Aku masih diam mematung melihatnya.

Kemudian dia memegangku dan membantu berdiri. Dia terihat lebih bersahabat dari pada sebelumnya.

"Mas seorang dokter?" Ucapnya gadis itu tanpa basa-basi.

"Iya benar," jawabku.

Dia memintaku untuk menjahitkan luka teman-temannya, dia bilang teman-temannya akan membantu aku pergi dari sini jika aku mau membantu mereka. Dengan senang hati aku meng-iyakan.

Setelah sampai di ruangan yang menurutku tidak asing, hanya saja aku lupa pernah melihat di mana. Dia menyerahkan peralatan, lampu sorot dan masih banyak lagi.

Ada banyak yang harus aku jahit, kurang lebih 100 orang. Mereka semua  sama-sama memiliki luka di perut. Aku mencari obat pemati rasa, namun nihil. Akhirnya aku putuskan langsung menjahit.

Mulai dari paruh baya, sampai anak kecil ada di sini. Aku berpikir apakah mereka sudah meninggal dunia  ataukah masih hidup. Melihat genta segar  mengalir, membuatku  berpikir bahwa mereka, orang-orang yang kuat dan mampu bertahan. Dalam keadaan separah ini.

Belum, selesai tapi aku meraskan lelah. Sesaat  melirik kearah jam, tetap jam dua belas yang terpampang.

Gadis itu mengelap keringat di dahiku. Dia juga tidak segan-segan memijat bahu dan leherku yang terasa pegal.

"Apa yang terjadi pada mereka?"  Tanyaku saat aku sedang istirahat, memulihkan stamina.

Diam, tidak ada jawaban. Lagi-lagi kekecewaan yang aku dapatkan. Saat akan berdiri dan melanjutkan kegiatanku, tiba-tiba dia menangis, tanpa suara, hanya sesenggukannya yang terdengar.

Apakah aku salah bicara? Pikirku melihat dia yang masih menangis. Aku mencoba membiarkan dan kembali menjahit. Hanya tinggal beberapa orang lagi sebentar lagi akan selesai.

Saat menjahit anak balita, aku menahan tangisku. Bagaimana mungkin ada orang tega merenggut dari balita manis di depanku?  Dia terlihat santai saat aku menusukkan jarum, seakan-akan dia tidak merasakan sakit.

'Mungkinkah obat 'pati rasa' dari sang pelaku masih ada sehingga tidak ada yang kesakitan saat aku menjahit' batinku.

Setelah selesai aku beralih ke orang terakhir, dia wanita muda yang sangat cantik. Senyumannya mampu membuatku luruh. Ingin rasanya meminangnya dan hidup bahagia. 

Tersenyum sendiri, kala aku  membayangkan membangun rumah tangga dengan orang tercinta.

"Dok?"

Wanita yang sedang aku jahit, bersuara dan memanggilku. Apakah dia merasakan saki atau dia tau apa yang aku pikirkan. Wajahku benar-benar memanas.

Buru-buru aku menyelesaikan jahitan dan menatap gadis itu, dia hanya tersenyum. Lalu aku berpamitan pada mereka semua.

"Ayo cepat," ucap gadis itu, sambil menarik tanganku.

Saat sampai di tempat pertama kali aku bertemu dengannya, dia langsung pergi meninggalkanku. Bahkan aku belum sempat mengucapkan terima kasih padanya.

Mengikuti kata-kata gadis itu,  aku cukup berjalan lurus. Sampai aku menemukan pintu, saat aku buka. Benar saja aku sudah berada di belakang gedung. Aku terus berlari takut penculik tau aku di sini.

"Angkat tangan!"

Mendengar itu, aku  terpacu untuk terus berlari. Sampai akhrinya sebuah timah panas mendarat di kakiku.

"Angkat tangan! Anda sudah terkepung !" Ternyata polisi yang telah menangkapku.

Setibanya di kantor polisi aku menjelaskan apa yang terjadi padaku. Percuma  polisi tidak percaya. Mereka bilang, mereka memang telah mengepungku sejak jam sebelas malam.

Saat mereka mengabulkan keinginanku untuk ke hotel tempat aku di tangkap, ternyata di sana hanyalah hotel kosong yang sudah lama tidak terpakai.

Menurut cerita hotel itu dulu memang dipakai para penjahat. Sekarang hotel itu terbengkalai. Setelah pemilik dan komplotannya tertangkap dan di hukum tembak mati.

Hanya terdiam, saat aku menanyakan sekarang pukul berapa, mereka menjawab dua belas malam. 

Sekarang aku yakin, yang terjadi adalah aku terjebak di alam 'mereka' dan untunglah mereka mau membantuku keluar, sehingga aku dapat kembali ke duniaku.

Sekarang aku berada di pusat rehabilitasi, karena aku adalah seorang pemakai. Mereka menganggap ceritaku hanyalah sebuah halusinasi karena efek "konsumsi terlarang". Bagiku, mereka semua ada dan nyata. 

The End 

Daftar Isi Cerpen Horor dan Misteri 

Read more:  Indeks Link 


Judul:  Bukan Halusinasi 

Author, Indriana Hidayat

Editor, COO Bebebs 

Selamat membaca dan jangan lupa bahagia. Bercerita Bersama Bisa dan Terimakasih 

Post a Comment for "Hotel Angker! Aku Terjebak di Alam Lain, Cerita Horor dan Misteri Bikin Bergidik"