Skip to content Skip to sidebar Skip to footer

Widget HTML #1

Perceraian Membawa Duka, Cerita Sedih Mama Muda

Cerita Cinta Mama Muda Menguras Air Mata 


Bebebs.com - Betapa sakitnya dikhianati suami sendiri. Perih rasanya tiada terkira, luka itu begitu sangat menyayat jiwa. Bercucuran air mata membasahi pipi. Menggelegak dan tidak terkendali. 

"Aku minta cerai!" ucapku dengan air mata berlinang dan tubuh bergetar.

"Tidak. Aku tidak akan menceraikanmu, Mila!" ucap Lendra sambil memegang bahuku.

Aku menuju lemari pakaian, memilih untuk tidak meladeninya. Sebab, aku tahu ia berwatak keras dan tidak pernah mau dibantah. Sebaiknya aku pergi dari rumah ini untuk menenangkan pikiran.

"Dengar dulu penjelasanku. Aku tidak pernah selingkuh!"

Semua bukti sudah jelas. Ia jalan dengan Lastri. Bahkan, kata bibi ia terlihat mesra bergandengan tangan dengan mantan istrinya itu. Apa itu belum cukup bukti?

Aku tak menyangka Mas Lendra bisa mengkhianati cinta yang sudah kami bangun bersama. Bahkan, dari pernikahan ini, aku dan Mas Lendra mempunyai buah hati.

Aku memang sering mengabaikannya ketika pulang kerja. Malas untuk melayani ketika ia menginginkan nafkah batin. Namun, kenapa harus penghianatan yang ia beri? Padahal ia bisa menegurku baik-baik. Tidak seperti ini.



Rasa Pedihnya Tiada Terkira   


Sakit rasanya. Bahkan, lebih sakit ketika kulit tersayat benda tajam.

"Mil, tolong dengar penjelasanku. Semua tuduhanmu tidak benar!" Mas Lendra menahan lenganku yang sedang membereskan semua barang-barang ke koper.

"Cukup, aku tidak mau dengar penjelasanmu lagi. Sekarang aku mau pulang ke rumah orang tuaku!" Aku menepis tangan kekarnya, berlalu dan mendorong koper yang sudah siap di bawa.

Mempertahankan rumah tangga ini sungguh mustahil. Aku paling tidak suka dikhianati. Mungkin kalau kesalahannya bukan perselingkuhan, aku masih bisa memaafkannya. Akan tetapi, kalau untuk hal yang satu ini aku tidak sudi bersamanya lagi.

Kebaikan Berakhir Sebuah Duka Nestapa  


Lendra sebenarnya suami yang baik. Lelaki berhidung mancung itu selalu pengertian. Ia juga sering membantu pekerjaan rumah. Akan tetapi, di balik semua itu ia tega bermain api.

"Mama ... Mama mau ke mana? Kok, bawa koper?" tanya Syakila saat aku menuruni anak tangga terakhir.

Aku segera menghampiri dan memeluknya erat. Takterasa air mata ini jatuh tanpa disuruh.

 "Jaga diri kamu baik-baik, ya." 

Aku mengusap lembut punggungnya sambil mengusap jejak air netra yang membanjiri pipi. Aku tidak mau putri kecilku melihat genangan air yang merembes ini.

"Kamu jangan nakal," ucapku melepaskan pelukan.
"Mama sayang banget sama kamu. Tapi, sekarang mama harus pergi."

"Mama mau ke mana?" tanyanya dengan parau. air mata membasahi pipi chubby-nya. "Aku nakal, ya, Ma?"

Aku menggeleng, lalu mengusap air matanya. Aku tidak sanggup menjawab pertanyaan yang ia lontarkan.

"Anak pinter gak boleh nangis."

 Aku menyunggingkan senyuman walau terpaksa, agar si Gadis Kecil tidak sedih lagi.

Aku tidak tega melihatnya menangis. Akan tetapi, aku juga tidak bisa mengajaknya pergi bersamaku. Sebab, kalau aku membawanya pergi, Mas Lendra pasti akan marah besar. Ia tidak akan mengizinkan putri kesayangannya kubawa pergi.

Jangan Tinggalkan Aku, Ma 


"Mama, jangan pergi!" Aku memeluknya lagi, mencoba menenangkan. Maafkan mama, Sayang. Mama tidak bisa lagi hidup bersama papamu. Bukannya mama tega meninggalkanmu, tetapi mama tidak sanggup lagi bertahan.


Aku tak kuasa lagi menahan buliran bening yang terus menerobos netra. Bagaimana bisa melihat putri kecilku meneteskan air mata?

"Maafkan mama, Sayang." Aku segera melepaskan pelukan dan beranjak pergi.

"Mama ... jangan pergi!" Syakila meraung terus memanggilku.

Aku tak menghiraukannya dan mempercepat langkah. Segera aku memasuki taksi online yang sudah dipesan terlebih dahulu.

"Jalan, Pak!" Perintahku.
"Mama ... Mama, jangan pergi!"

Masih terdengar ia memanggil-manggil sambil melambai-lambaikan tangan. Pipinya sudah basah dengan linangan air mata. Tubuh kecil itu seakan-akan ingin berlari mengejar. Namun, tangan kekar Mas Lendra menahannya. Kuda besi ini terus melaju sampai teriakan Syakila tidak terdengar lagi. Sepanjang perjalanan, aku tak kuasa menahan buliran ini. Ia bagaikan badai yang menerjang tanpa bisa dibendung.

Sesampainya di rumah, aku mengucapkan salam dan mengetuk pintu. Akan tetapi, sang empunya tidak kunjung membuka. Kuketuk berkali-kali, tapi tetap tidak ada yang membukanya.

Terpaksa Pulang ke Rumah Orang Tua 


Rumah sederhana yang dihiasi pot bunga yang berjajar itu tampak sepi. Mungkin Ibu dan Bapak sedang pergi. Tak ingin menunggu lama, kucoba mencari kunci untuk membuka pintu, karena biasanya mereka menaruh kunci di bawah pot. Benar saja, ketika kuangkat sedikit pot yang berada di sisi pintu, kuncinya tergeletak.

Aku cepat-cepat membukanya dan langsung menuju kamar. Hati dan pikiranku sangat lelah memikirkan semua.

Kurebahkan tubuh ini di kasur.Sambil terpejam, aku pun berusaha menahan air mata. Entah berapa lama aku tertidur. Kurasakan kepala sangat sakit. 

Memijitnya perlahan, kucoba bangkit dan berjalan keluar kamar. Terlihat Ibu sedang memasak di dapur. Wanita itu terlihat sibuk bertempur dengan penggorengan.

"Ibu udah pulang?" Aku menghampirinya, lalu mencuil bakwan yang masih di penyaring. Perut terasa lapar karena dari tadi pagi belum terisi sebutir nasi pun.

"Kamu kenapa? berantem lagi sama Lendra?" 

Bukannya menjawab, perempuan hebatku itu malah balik bertanya. Ia sudah tahu, kalau putrinya berkunjung pasti ada masalah. Sebab, aku jarang sekali berkunjung ke rumah selain hari raya.

Aku menceritakan semua permasalahan kepada Ibu. Air mata pun meluruh. Aku tidak bisa terlihat tegar di hadapan wanita paruh baya itu.

"Kamu jangan gegabah mengambil keputusan. Pikirkan dulu baik-baik." 

Wanita hebat itu memelukku. Tubuh rentanya mampu menenangkan.

"Jangan buru-buru mengambil keputusan. Tenangkan dulu pikiranmu, karena mengambil keputusan ketika hati sedang marah itu tidak baik. Pikirkanlah Syakila. Ia masih membutuhkan kasih sayangmu."

Bukannya aku tidak memikirkan Syakila. Akan tetapi, rasanya begitu sakit ketika lelaki yang kucintai begitu tega mengkhianati. Setelah mendengar nasihat-nasihat Ibu, aku sedikit lebih tenang.

Antara Bimbang dan Terluka Jiwa 


Aku memutuskan kembali ke rumah setelah semalaman berpikir. Sebab, aku juga belum yakin betul kalau Mas Lendra selingkuh. Info itu aku dapatkan dari bibi yang melihat Mas Lendra jalan bergandengan mesra. Aku juga belum mendengarkan penjelasan Mas Lendra. Kemarin, aku tersulut emosi karena cemburu.

"Aku pamit dulu, ya, Bu."

Setelah berpamitan, aku segera pergi dengan taksi online. Sepanjang perjalanan, hatiku gelisah tak menentu. Ada apa, ya? Tidak biasanya begini.

Taksi yang sudah memasuki kompleks tempatku tinggal.

Rumah bercat ungu sudah mulai terlihat, lalu berhenti agak jauh dari halaman rumah. Aku bersiap untuk turun.

Tunggu ....


Aku memicingkan mata. Pemandangan yang kulihat mampu menghancurkan hati berkeping-keping. Dadaku sesak, hati serasa ditimpa godam berkali-kali. Remuk redam. Lastri dan Mas Lendra sedang berpelukan mesra di luar rumahku.

Baru saja kutinggalkan kamu satu malam, Mas. Tetapi, apa yang kamu lakukan? Sangat menjijikan!

Begitu saja tak terasa buliran bening mengalir begitu saja tanpa dikomando. Kenapa kamu begitu tega, Mas? Apa salahku?

Terpaksa  Memutuskan untuk Bercerai 


Kejadian itu membuat aku lebih mantap untuk bercerai, walau Mas Lendra bersikukuh tidak memberikan talak. Tanpa menunggu lama, aku langsung mengurusnya ke pengadilan.

Setelah semuanya selesai, kuputuskan mencari kerja ke luar kota karena tidak mau terus dibayangi rasa sakit hati.

Semoga saja dengan merantau, aku bisa melupakan Mas Lendra. Nasib baik berpihak padaku. Aku diterima kerja walau hanya jadi ART. Pekerjaannya pun lumayan ringan. Hanya membereskan rumah, mencuci piring, dan mencuci baju. Itu pun pakai mesin cuci. Sayangnya, aku cuma bertahan beberapa bulan.

Aku tidak betah karena selalu teringat Syakila, lalu pulang.

Tatapan Miring Tersebab Menjanda 


Ternyata hidup menjanda itu tidak enak dan tidak seperti yang kupikirkan. aku sering digoda oleh lelaki hidung belang, dirayu, dan dicap janda gatel. Pokoknya hidupku tidak tenang.

Bahkan, aku pernah dituduh menggoda suami orang, sampai istrinya memaki dengan kata-kata kasar. Padahal aku sama sekali

tidak pernah menggoda suaminya. Mungkin karena parasku yang cantik, tubuh ramping, kulit putih bersih, makanya banyak lelaki yang menggoda.

Bahkan ada beberapa lelaki yang datang ke rumah untuk melamar. Akan tetapi, tak ada yang cocok denganku.

Aku juga selalu menjadi buah bibir para tetangga. Padahal, aku tidak pernah mengusik mereka. Sungguh malang nian nasibku.

Perjodohan Pernikahan Kedua 


"Mil, bibi punya calon buatmu."

Sudah ke sekian kalinya bibi menawariku calon. Namun, aku tidak pernah menerimanya. Wanita berpakaian seksi itu selalu berusaha menjodoh-jodohkanku dengan teman lelakinya.

"Dia ini pengusaha kaya, loh, Mil. Kali ini kamu harus mau.

Bibi tidak mau ada penolakan lagi!" cerocos bibi sedikit memaksa.

Akhirnya aku pasrah menerima perjodohan. Terlebih aku tidak tahan dengan perkataan tetangga yang selalu mencapku sebagai wanita penggoda. Mungkin kalau aku menikah lagi, mulut mereka bisa bungkam.

***

Pernikahan dilaksanakan secara meriah. Lelaki yang bersanding denganku ini seorang duda kaya. Ia bekerja di tambang emas, jadi ya pasti uangnya banyak.

Setelah pernikahan dilaksanakan, tidak ada lagi yang mengataiku wanita penggoda, janda gatal, atau sejenisnya.

Semula aku memang tidak mencintainya. Akan tetapi, seiring berjalannya waktu, lelaki itu mampu memikat hatiku hingga kami mempunyai jagoan kecil. Aku sangat bahagia. Hidupku terasa sempurna dengan adanya buah cinta. Sayang, kebahagiaan itu tak berlangsung lama.

Suamiku kabur entah ke mana. Ia pergi begitu saja dan meninggalkan hutang yang banyak dan akulah yang harus membayarnya.

Ternyata suamiku itu bekerja di tambang emas illegal. Selama ini aku tidak mengetahuinya karena cuma tahu ia pulang satu minggu sekali. Tentang pekerjaan jelasnya, aku tidak tahu.


"Sayang, aku berangkat dulu, ya. Jaga diri baik-baik dan jaga pangeran kecil kita." Mas Hans mengecup keningku. Ia pun mencium Rasya yang ada di gendonganku.

Itulah kata-kata terakhirnya sebelum ia pergi entah ke mana. Begitu tega ia menelantarkan aku dan Rasya begitu saja.

Sekarang, yang harus dipikirkan adalah bagaimana caranya membayar utang yang ditinggalkan oleh Mas Hans, serta membiayai hidupku dan Rasya.

Kabar yang Membawa Duka Penyesalan 


Bunyi benda pipih membuyarkan lamunanku. Segera kuraih handphone di nakas. Dari nomor tak dikenal.

Siapa ya? Aku langsung mengangkatnya. Takutnya penting.

“Assalamu'alaikum.”

Terdengar suara wanita mengucapkan salam di sebrang sana.

“Wa'alaikum salam.”
“Mil, cepat datang ke sini. Syakila sakit terus manggil-manggil kamu.”

Tiba-tiba panggilan terputus. Beberapa menit kemudian, Mba Mika mengirimkan lokasi di mana Syakila dirawat.

Ya Allah, cobaan apa lagi ini? Tanpa pikir panjang, aku bergegas ke rumah sakit.

Sebelumnya, aku titipkan Rasya terlebih dahulu ke tetangga.

Sepanjang perjalanan, pikiranku kalut, resah, gelisah tak menentu. Rasanya, aku ingin segera memeluk Syakila. Dulu, ketika aku pergi meninggalkannya, ia masih berumur lima tahun.

Sekarang, pasti putri kecilku itu sudah menjadi gadis cantik. Setelah perceraianku dengan Mas Lendra, aku tidak pernah diizinkan bertemu dengannya. Paling cuma hari raya, itu pun dulu. Sekarang, sudah beberapa tahun aku tidak pernah lagi berjumpa dengannya.

Sesampainya di rumah sakit, aku langsung menanyai suster yang berdiri di depan kasir.

Aku bergegas menuju kamar yang ditunjukan oleh sang suster. Setelah dekat dengan kamar yang dituju, terdengar suara orang menangis.

Deg!

Perasaanku tak karuan. Apa yang terjadi dengan Syakila? Tanpa mengetuk, aku dorong perlahan pintu dan memasuki ruangan yang serba putih itu. Di sana, gadis berwajah pucat terbaring lemah dengan berbagai alat yang menempel ditubuh. Di sampingnya, ada ibu Mas Lendra dan Mba Mika. Mereka semua menangis.

"Syakila, ini mama, Nak." Aku sudah berada tepat di samping gadis cantik yang terbaring lemah dan matanya tertutup.

"Sudah terlambat. Ia sudah pergi untuk selamanya."

Deg!

Ucapan Mas Lendra bagai petir di siang bolong. Hatiku luluh lantah. Tubuh ini seakan-akan lepas dari tulang, hingga aku tak bisa menopangnya. Untung ada Mas Lendra yang menahan hingga tubuhku tidak jatuh. Air bening meluruh tanpa disuruh.

Hancur sudah hatiku melihat Syakila pergi untuk selamanya.

"Syakila, buka matamu, Sayang!" Aku mengguncang tubuh yang sudah terbujur kaku itu.

"Maafin mama, Sayang." Tak henti aku menciumi keningnya. Namun, semua itu sudah terlambat. Ia sudah pergi untuk selamanya.

Penyesalan terbesar dalam hidup adalah menyia-nyiakan buah hatiku sendiri. Bahkan, sampai ia tutup usia, aku tidak ada di sampingnya.


Tamat

Daftar Isi Cerpen 


Indek Cerpen Sedih 


Bandung, Kota Kembang 

Post a Comment for "Perceraian Membawa Duka, Cerita Sedih Mama Muda "