Skip to content Skip to sidebar Skip to footer

Widget HTML #1

Ketika Guru VS Murid dengan Kenakalan Pelajar SMA, Apa yang Terjadi?

Cerpen Remaja Di Bangku Sekolah Pelajar SMA




Bebebs.com -  Hari ini, seorang guru baru ditugaskan mengajar di SMA Merah Putih, menggantikan guru asli yang tidak masuk karena tugas belajar. Dengan bersemangat, Pak Guru tersebut berjalan menuju kelas MIPA 3.


Terlihat dari kejauhan, Pak Guru melihat para siswa bolak-balik mengintip ke lorong seperti sedang menunggu kedatangannya.


Ternyata, salah besar. Ketika dia sampai, kelas sudah dalam keadaan kosong. Semua murid sepertinya telah melarikan diri, membolos dengan membawa semua perlengkapan belajar mereka.

Pak Guru tetap masuk dan duduk di meja guru dengan perasaan gusar. Tersimpan amuk amarah dalam dadanya, melihat perilaku murid-murid yang berani meninggalkan kelas meski telah melihat kedatangan dirinya.

"Perangai anak-anak sekarang memang sangat keterlaluan. Awas kalau kalian bertemu saya besok. Tunggu pembalasan setimpal.''


Akan tetapi, perbuatan anak didiknya tersebut malah menggiring ingatannya pada kenangan lima belas tahun silam.
 

Pelajaran  Awal Masuk Kelas 


Jam pelajaran terakhir baru saja dimulai. Namun, anak-anak kelas 2 Fis 5 (dua fisika lima) sudah gelisah dari tadi. Mereka yang menyukai eksakta, selalu menganggap pelajaran geografi ini tidak menarik. Bu Guru juga dianggap tidak asyik cara menjelaskannya. Fix sudah, membosankan! Apalagi di jam-jam terakhir, saat mata sudah mulai mengantuk, dan godaan untuk pulang semakin besar. Terdengar beberapa kali lontaran gerutuan, tanda sudah jemu, keluar dari mulut siswa-siswa itu.



"Sssttt ... baca nih!" Deni memberi kertas kecil ke Budi, teman bangku sebelahnya. "Buka! Kalau udah, kirim berantai ke semua teman sekelas!"



Budi yang setengah mengantuk, langsung on ketika membaca isi surat tersebut. 'Bosan. Kita bolos aja, yuk! Nongkrong makan mie di GOR. Izin keluar kelas satu-satu. Tas nanti saja kita ambil sepulang sekolah. Mulai dari sekarang. Cepat!'


Pesan berisi perintah tersebut sudah beredar. Namun, mereka masih saling pandang, menunggu. Belum ada yang berinisiatif keluar kelas pertama.



Sebagai yang punya ide, Deni pun menjadi pelopor. Satu persatu dari mereka mulai izin, hingga akhirnya, kelas menjadi kosong melompong.


Sebagai rasa solidaritas, semua anak terpaksa harus ikut. Tidak ada satu orang pun yang tinggal. Biasanya karena takut di-bully, dijauhi, dan dianggap tidak setia kawan.

Bermula  Gara-gara Ibu Guru  Ema 



Puluhan tahun mengajar, baru kali ini, Bu Emma--nama guru geografi itu--mengalami hal yang menyakitkan, ditinggal murid sekelas. Wajah beliau terlihat letih. Mata berkaca-kaca, tak menyangka akan mendapati kejadian seperti hari ini. Walaupun begitu Bu Emma masih berharap semua ini hanya lelucon dan anak-anak didiknya akan segera kembali karena tas mereka masih ada di dalam kelas.


Setengah jam pertama, Bu Emma masih sabar. Memasuki setengah jam kedua, beliau pun sudah tidak tahan dan akhirnya memutuskan meninggalkan kelas juga.



Masih enam puluh menit lagi kelas pagi akan berakhir. Akan tetapi, Bu Guru yang sudah berumur dan sebentar lagi akan pensiun itu, tidak sanggup lagi menahan kemarahan juga kesedihannya. Beliau merasa dilecehkan oleh anak-anak kemarin sore itu.


Begitu perih dengan tertatih, Bu Emma berjalan berpegangan merambati dinding kelas yang dilalui. Luka dan rasa kecewa seakan membuat tungkainya menjadi lemah, tak sanggup berdiri.


Sesampai di ruang guru, Bu Emma menangis. Air mata yang ditahannya dari tadi pun tumpah sudah membasahi pipi yang mulai banyak dihiasi keriput. Tampak jelas gurat kesedihan di wajah tuanya.


Sementara di GOR, di kantin yang biasa dikunjungi anak-anak sekolahan saat jam olahraga atau hanya sekedar kongkow-kongkow, Deni, Budi, dan seluruh penghuni kelas dua fis lima tampak tengah bergembira--mengobrol, duduk-duduk santai, makan-makan--seolah-olah sedang merayakan kebebasan.

"Bisa mati bosan kita, duduk dua jam di kelas Bu Emma!" teriak Deni ke Budi, mengimbangi lagu rock yang menjadi musik khas kantin tersebut.


"Iya juga, sih. Bu Emma dari dulu gak pernah berubah. Udah tau pelajarannya gak seru, eh, ngajarnya kayak begitu, pula," jawab Budi menimpali.


Mereka semua terlihat asyik menikmati hari, lupa telah melakukan perbuatan yang membuat hati seorang guru terluka.

Mendapatkan Hukuman Kepala Sekolah 


Tepat di sekolah, setelah merasa agak tenang, Bu Emma melaporkan perangai anak-anak dua fis lima tersebut kepada Pak Anto--kepala sekolah.


"Bagaimana ini, Pak, anak-anak sudah ngelunjak. Sekelas mereka bolos! Harus dapat hukuman setimpal agar mereka semua jera!"


"Iya, Buk. Saya juga gak menyangka mereka akan senekat itu. Saya akan cari cara agar anak-anak 'pemberani' itu kapok."

Tidak lama, Pak Kepala Sekolah tampak tersenyum, seperti sudah mendapatkan ide.


"Sebentar ya, Buk Emma, saya menghubungi anggota osis dulu untuk membantu memberi 'pelajaran' kepada anak-anak iseng tersebut. Oh ya, tas mereka semua masih ada di dalam kelas, kan, Buk?"

"Masih, Pak."

Selesai membicarakan rencananya, Pak Anto, Bu Emma, dan beberapa anggota osis, kemudian menuju kelas dua fis lima, sambil membawa dua buah gerobak sampah besar. Dengan sigap semua anggota organisasi siswa itu mengumpulkan tas-tas yang ditinggal tadi, dan memasukkannya ke dalam gerobak. Pengurus osis tersebut kemudian membawa gerobak sampah tersebut ke tengah lapangan dan membiarkannya terjemur di sana.


Setelahnya, di kelas dua fis lima, Pak Kepala Sekolah, Bu Emma, dan anggota osis, duduk dengan tenang menunggu kedatangan siswa-siswa yang bolos tadi kembali 'tuk mengambil tas mereka.

Lima menit usai bel sekolah berbunyi, Deni, Budi, dan kawan-kawan kembali dari GOR yang hanya berjarak sekitar satu kilometer. Mereka berencana mengambil tas yang tadi ditinggal.


Alangkah terkejutnya mereka ketika masuk kelas, mendapati Bu Emma dan kepala sekolah, serta teman-teman anggota osis tengah duduk, menatap mereka dengan sorot mata sedih dan kecewa sambil geleng-geleng kepala.

Setelah semua hadir, mereka pun diceramahi dan mendapat teguran keras.


"Bapak sangat kecewa melihat anak-anak Bapak yang pintar-pintar, calon insinyur, pilot, dokter, ilmuwan, tetapi ternyata berani sekali berbuat bodoh seperti ini! Sama sekali Bapak tidak menyangka kalian akan setega itu, tidak memikirkan perasaan Ibu Emma sebagai guru kalian! Coba bayangkan, seandainya Bu Guru yang mengajar itu Ibu kalian, atau bahkan diri kalian sendiri nanti? Apa tidak sedih? Sakit hati? Cobalah renungkan perbuatan kalian ini!"


Kemudian Pak Anto melanjutkan wejangannya. "Suka gak suka, yang namanya ilmu, dan diajarkan di sekolah, tetap harus kalian pelajari dengan sepenuh hati. Mungkin sekarang belum begitu terasa manfaatnya, tetapi nanti? Kalian gak mau, 'kan, terlihat seperti orang yang tidak mengerti apa-apa tentang bumi, wilayah, peta, negara, dan lain-lain? Apa kalian gak malu menjawab tidak tahu ketika ada orang yang bertanya? Apa kalian gak akan ke mana-mana setelah lulus?"

Mereka semua terdiam, menunduk, sesekali manggut-manggut ikut membenarkan semua ucapan Pak Anto. Terlihat wajah sedih rasa menyesal. Deni yang punya ide, juga tampak termenung mendengar petuah kepala sekolah. Biasanya, mereka juga sering membolos. Hanya saja bolos sekelas, baru kali ini.

"Sekarang, kalian semua keluar, berbaris yang rapi. Silakan menuju ke lapangan upacara. Bentuk tiga barisan, menghadap ke tiang bendera. Cepat!"

Segera saja mereka lari berhamburan ke lapangan. Selesai mengatur barisan, mereka baru sadar, telah menjadi tontonan adik-adik kelas yang masuk siang. Semua anak kelas satu berdiri mengelilingi mereka. Bertepuk tangan, menertawakan, dan menyoraki, atas perintah Pak Kepala Sekolah.


"Lihat ini, ya ... buat adik-adik kelas satu, perbuatan yang tidak patut dicontoh! Tepuk tangan sekali lagi buat kakak-kakak kalian yang sangat 'pemberani'. Sekelas meninggalkan kelas, memilih nongkrong di Gedung Olah Raga." Kembali Pak Kepala Sekolah mengumumkan perbuatan Deni dan kawan-kawannya.


"Sengaja mereka Bapak jemur, supaya mereka tau, betapa panasnya rasa marah yang telah mereka semai dan tanam. Sekarang, Bapak akan membuat mereka menuai hasil kerja mereka. Tepuk tangan sekali lagi untuk perbuatan bodoh mereka!" seru Pak Anto dengan sangat bersemangat.

Deni dan kawan-kawan tak pernah menyangka akan dipermalukan seperti itu di depan adik-adik kelas mereka. Selama ini, jika ada siswa yang bolos, biasanya hanya dipanggil ke ruang BP (Bimbingan dan Penyuluhan) dinasihati berdua saja, selesai, aman, tidak ada yang tahu.


Sekarang ... muka mereka semua sudah seperti kepiting rebus. Selain malu, juga karena kepanasan. Hampir tiga puluh menit mereka dijemur. Tas pun sudah tak ada harganya lagi, ditaruh begitu saja di dalam gerobak sampah.

Sungguh, balasan yang setimpal, dipermalukan di depan orang banyak.

Selesai urusan di lapangan, bukan berarti mereka sudah bebas, bisa pulang. Semua mampir dulu ke ruang BP, meminta maaf ke Bu Emma, menulis surat perjanjian, tidak akan mengulangi lagi perbuatan buruk tersebut. Terutama untuk Deni yang punya ide, mendapat sangsi khusus, akan dipanggil orang tuanya.

Akhirnya Guru Tersadar Juga  


Pak guru tersadar. Wajahnya pun berubah sedih mengenang perbuatan konyol yang pernah dia lakukan terhadap seorang guru saat SMA dulu.


Cerita lama kembali berulang. Menjadi pengingat, bahwa ternyata karma atas perbuatan lalu itu benar-benar ada, dan sekarang berlaku atas dirinya. Ya, dialah Deni Wicaksono, murid yang mendapat sangsi khusus pada hari itu.



-Tamat-


Penulis: Enya Hernawati Zainal

Judul : Setelah Lima Belas Tahun

Abbotabad, Khyber Pakhtunkhwa, Pakistan, 15 Agustus 2019
Bebeb Admin
Bebeb Admin Admin Bebebs Belajar Bersama Bisa Comunity

1 comment for "Ketika Guru VS Murid dengan Kenakalan Pelajar SMA, Apa yang Terjadi? "