Skip to content Skip to sidebar Skip to footer

Widget HTML #1

Kerasukan Dedemit, Cerita Horor dan Misteri

Cerpen Kesurupan yang Bikin Merinding




Bebeb.com - Ini adalah hari pertama dokter Liem bertugas sebagai dokter Dalcilgaltas--Daerah Terpencil Tertinggal Perbatasan. Pria bermata sipit itu ditempatkan di pulau Dabo Singkep, daerah yang dulunya merupakan lokasi penambangan timah terbesar di Indonesia. Sayang, cerita indah kemegahan pulau itu kini tinggal kenangan, sejak timah mulai langka, dan kota ditinggalkan para pemudanya merantau mencari penghidupan baru ke ibukota provinsi.


Puskesmas yang menjadi tempat Dokter Liem bertugas hanya berjarak sekitar dua puluh kilometer saja dari pusat kota. Tidak terlalu jauh sebenarnya. Namun, kontur perbukitan, hutan bakau, kolong atau bekas-bekas tanah berlubang besar sisa galian timah yang dibiarkan begitu saja, serta suasana lingkungan yang sepi, membuat jarak waktu yang dilalui menjadi terasa jauh dan lama. Sedikit sekali rumah penduduk terlihat sepanjang perjalanan.



Jauh dari keramaian dan hanya mendengar suara cuit burung, kepakan sayap elang, sekali-sekali walet, membuat tempat itu kian beraroma mistis. Seringkali bulu roma Dokter Liem berdiri setiap melewati kolong dengan kubangan air keruh yang info kedalamannya bisa mencapai hingga 3--5 meter. Dari cerita penduduk setempat, sudah banyak anak-anak yang menjadi korban, tenggelam saat bermain di sana.

Masuk Ruangan Puskesmas 


Baru saja Dokter Liem menjejakkan kaki di pintu puskesmas, badannya yang tegap tiba-tiba sempoyongan ditabrak beberapa anak muda yang terlihat panik. Muka mereka tampak pasi seperti tak dialiri darah dengan ekspresi ketakutan.


Berlima, dalam kesulitan mereka membopong satu orang. Tanpa memedulikan sekeliling, para pemuda itu langsung saja masuk dan buru-buru meletakkan temannya yang tak sadarkan diri di brankar yang ada. Terlihat wajah-wajah lelah bersimbah keringat dengan pandangan mata kosong seperti dilingkupi putus asa. Entah apa yang terjadi, sehingga para pemuda tersebut seperti orang yang linglung dan hilang akal. Berkali-kali mereka mondar-mandir, saling pandang, dan terlihat gelisah.


Bergegas paramedis memberikan pertolongan dengan mengecek airways terlebih dahulu. Setelah memastikan denyut jantung dan nafas positif, barulah perawat melakukan pemeriksaaan tanda-tanda vital dengan mengukur tekanan darah, suhu, nadi, dan pernafasan.


Suhu pasien 41°C. Sementara pemeriksaan lainnya dalam batas normal. Tenaga kesehatan menyimpulkan pasien tersebut menderita malaria. Memang daerah bekas tambang timah ini merupakan endemik penyakit yang disebabkan oleh nyamuk anopheles itu, sehingga, setiap pasien yang menderita demam tinggi hampir selalu didiagnosis malaria.


Dokter Liem yang saat itu kebetulan berada di sana memperhatikan rombongan pemuda tersebut dengan seksama, dan kemudian beralih mengamati pasien yang mereka bawa. Melihat kondisi dan hasil pemeriksaan, Dokter Liem menduga ada sesuatu yang tidak beres.


Penasaran, Dokter Liem pun mendekati si pasien. Merasa sadar diri karena belum diterima secara resmi sebagai tenaga kesehatan di Puskemas Raya tersebut, Dokter Liem pun berbicara terlebih dahulu ke kepala puskesmas, meminta izin agar diperbolehkan untuk ikut memeriksa pasien tadi.


Memeriksa Pasien Gejala Aneh 



"Mbak, tolong temani saya memeriksa pasien ini, ya," pinta Dokter Liem kepada salah seorang perawat yang berada di dekatnya berdiri.


"Iya, siap, Dok," jawab si perawat sambil memberikan hasil pemeriksaan tanda-tanda vital kepada Dokter Liem.


"Kalau menurut saya, dengan suhu tubuh setinggi ini, seharusnya respirasi rate pasien di atas normal. Nadinya juga. Akan tetapi, hasil pemeriksaan menunjukkan semuanya normal, kecuali suhu badan. Nah, ini yang menjadi tanda tanya saya. Ada apa dengan pemuda ini?" ujar dokter Liem setelah selesai memeriksa ulang kembali pasien tersebut.


"Boleh gak, saya merukiah pasien ini?" Dokter Liem bertanya kepada perawat, menawarkan diri membantu memberikan pengobatan alternatif.


Selain sebagai tenaga medis, Dokter Liem juga belajar pengobatan rohani dengan cara merukiah. Sudah sejak kuliah dokter 'smart' berwajah teduh itu memberikan pengobatan yang saling mengisi dan berkaitan tersebut.


"Sebentar, ya, Dok, saya tanya ibu dulu," jawab si perawat bergegas memasuki ruangan kepala puskesmas yang berada persis di depan ruang periksa.


Tak lama berselang, "Dok, mohon maaf. Kata ibu, kalau pengobatan seperti itu, gak bisa dikerjakan di sini, Dok, karena tidak sesuai dengan prosedur medis. Jadi, sekali lagi, mohon maaf, ya, Dok, beliau tidak mengizinkan," tutur perawat yang mendampingi Dokter Liem dengan ekspresi terlihat tidak enak hati.


"Ya sudah kalau begitu. Tidak apa-apa. Oh ya, karena hari ini saya belum ada jadwal, jadi saya pamit dulu. Besok saja saya mulai masuk kerja." Dokter dengan mata segaris itu pun berlalu, segera keluar bermaksud hendak pulang.


***EHZ***




Dokter Liem berjalan santai menuju mobil dinas yang akan membawanya kembali ke kota. Baru saja membuka pintu, salah seorang pemuda yang membopong pasien tadi terengah-engah mendatanginya. "Ma-ma-maaf, Pak Dokter," sapanya gugup. Mata kuyu itu seperti ragu-ragu berbicara. Tiap sebentar dia menoleh. Entah apa yang dia cari. Dokter Liem diam saja, menanti si pemuda untuk bercerita. Beberapa saat, perlahan pemuda itu berkata. "Sebenarnya dari tadi saya menunggu kesempatan ingin bicara dengan Bapak. Saya mau kasih tau soal teman saya itu, Pak." Entah sudah berapa kali pemuda itu menggeram. Sesekali dia mengembuskan napas kasar, tampak seperti ingin melepaskan beban yang mungkin dia pendam.




Dokter Liem menatap prihatin pemuda di sampingnya. Wajah penuh kecemasan itu memperlihatkan gurat kengerian. Bola matanya tampak liar tak beraturan memperhatikan sekeliling, seperti ada yang ditakutinya.




"Ada apa sebenarnya?" tanya Dokter Liem, memberi isyarat agar anak muda itu masuk ke mobil.




Bergegas si pemuda naik dan duduk di samping Dokter Liem. Dia menarik napas panjang dan mengeluarkannya dengan kasar. Dokter Liem hanya memperhatikan saja. Setelah terlihat sedikit tenang, barulah pemuda itu berbicara kembali.




"Begini, Pak Dokter. Sebenarnya teman saya itu, benar, seperti yang Bapak bilang. Dia butuh pertolongan, Pak." Si pemuda terdiam lagi, tercenung, dan kembali menghela napas panjang. Sebelum bicara, anak muda itu kembali terlihat ragu. Matanya, lagi menatap liar, melihat ke mana-mana seakan-akan ada sesuatu yang menganggu. Setelah tidak ada terjadi apa-apa, barulah dia berbisik.




"Tadi pagi dia mengamuk Pak, seperti harimau, mencakar-cakar orang-orang di dekat dia. Ini, baju saya robek karena dicakarnya, Pak." Si pemuda menunjukkan beberapa bagian baju kemejanya yang rusak, robek tak beraturan. Pemuda itu menjelaskan keadaan temannya dengan pandangan mata nanar. Ekspresi ketakutan tak pernah lepas dari wajah tirusnya.




"Astaghfirullah. Kenapa bisa begitu?" tanya Dokter Liem tetap tenang, meski penasaran.




"Kami ini pekerja menara Kokomsel, Pak. Perantau di kota ini. Tadi pagi, kawan saya ini buang air kecil di kolong, tanah bekas galian timah itu. Sebenarnya sudah banyak yang memberi tau kami, Pak, supaya tidak sembarangan. Tapi, namanya keadaan, Pak. Kalau sudah gak tahan, ya, terpaksa kami buang air kecil di tempat, Pak," jelas si pemuda. Tampak ekspresi menyesal saat dia mengatakan tidak mematuhi anjuran penduduk lokal.




"Ndak taunya, Pak, setelah pipis, dia jadi berubah." Pemuda itu kembali terdiam, menatap berkeliling ke luar jendela, seperti khawatir ada yang mendengar. Berkali-kali dia meremas tangan juga menjambak rambut. Suara napasnya menderu, terdengar kasar.




"Tiba-tiba saja, teman saya itu marah, berteriak-teriak, menunjuk-unjuk, dan mengamuk, mencakar-cakar kami. Dia mengaum, Pak, seperti harimau, membuat kami semua ketakutan, lari pontang-panting. Saya yang tertangkap dan dicakar, Pak. Saya pikir, saya tadi sudah mati, Pak, waktu teman saya itu seperti ingin menerkam saya. Bersyukur dia tiba-tiba pingsan." Wajah si pemuda kembali tampak ketakutan. Napasnya memburu, terlihat sekali kalau dia trauma.




"Tenang dulu, ya, Mas. Oh ya, saya harus manggil Mas siapa, nih?" Dokter Liem mencoba mengalihkan fokus agar si pemuda tidak terlalu stres.




"Saya Rinto, Pak. Kami berlima kerja di tower yang sama," jawab pemuda itu setelah bisa menenangkan diri.




"Saya mohon, Pak, minta tolong teman saya di rukiah, saja." Kedua tangan Rinto mengambil tangan Dokter Liem, menggenggamnya erat dengan wajah memelas.




"Tapi saya tidak boleh merukiah di puskemas ini. Bagaimana tu?" Dokter muda itu menyipitkan matanya yang sudah segaris itu menjadi semakin tak terlihat, berpikir keras, mencari cara agar bisa menolong pasien tersebut.




Pelan-pelan Dokter Liem melepaskan tangan Rinto yang masih menggenggam erat tangannya. Ada rasa sungkan sebenarnya dalam hati Dokter Muda itu. Dia merasa, bantuannya sangat diharapkan, tetapi ada khawatir, jika dia tak mampu memberikan pertolongan.




Mata Dokter Liem awas memperhatikan sekitar. Meraba-raba apa ada tempat yang bisa dipakai untuk merukiah.




"Oh ya, ada masjid. Coba saya tanya dan minta izin dulu sama pengurusnya, boleh gak mesjidnya dipakai buat mengobati teman kamu. Sekalian kamu juga izin sama dokter dan perawat di puskesmas, kalau teman kamu akan saya terapi," perintah Dokter Liem, meminta Rinto untuk bertindak segera.


"Baik, Pak!"


Akhirnya  Merukiyah 



Bersyukur pengurus mesjid beserta beberapa orang tamu dari jemaah tabligh yang saat itu sedang khuruj mengizinkan masjid dipakai untuk merukiah. Mereka pun bersedia menemani dan menjadi saksi, juga membantu jika sewaktu-waktu dibutuhkan pertolongannya.


Setelah mendapat izin dengan syarat puskesmas tidak akan bertanggung jawab terhadap pasien jika terjadi sesuatu, beramai-ramai mereka kembali memindahkan temannya ke masjid yang berada tak jauh di belakang puskesmas.


Ada yang aneh sebenarnya saat Dokter Liem memperhatikan lima orang tersebut membopong si pasien. Mereka seperti keteteran, seolah-olah mengangkat orang dengan beban seratus kilogram saja. Padahal postur si pasien tidak besar. Malah terlihat kecil dan kurus.


Tiba di masjid, setelah pasien dibaringkan di lantai, semua orang pun menjauh, memberi ruang untuk pengobatan.


Dokter Liem berwudu terlebih dahulu sebelum mulai merukiah. Ditemani sekitar sepuluh orang bapak pengurus masjid dan jemaah tabligh, Dokter Liem memulai pengobatan diawali membaca taawudz, bismillah, dan ayat kursi.



Hati-hati Dokter Liem memegang tangan pasien.


Suasana hening. Hanya bacaan doa dari mulut Dokter Liem saja yang jelas terdengar.


Subhanallah, anak muda yang sakit itu bereaksi. Perlahan dia bergerak melengkung seperti orang yang sedang merangkak.


Semua orang sontak terkejut dan berseru taawudz melihat pemandangan seperti itu. Wajah-wajah diliputi kengerian mulai terlihat. Teman-teman pemuda yang sakit itu malah meloncat ke belakang, menjauh saking kagetnya. Tubuh mereka tampak menggigil berusaha saling merapat mencari rasa aman. Tampak sekali mereka masih syok dengan kejadian yang menimpa pagi tadi.


Sementara itu, Dokter Liem masih meneruskan bacaan ayat-ayat Al-Qurannya. Tangan beliau yang tadi menggenggam erat pasien terlepas sudah. Dokter Liem mulai menjaga jarak--menjauh sekitar satu meter--bersiap dengan kemungkinan terburuk diserang oleh pasien yang sudah bersifat dan bersikap seperti harimau itu. Posisi mereka sekarang saling berhadapan.


Mata pasien melotot mengawasi Dokter Liem. Sesekali mata itu menyisir semua orang yang hadir. Netra itu terlihat merah, semerah saga, berkilat menyimpan amuk angkara. Tatapan mengerikan itu seperti magis, mengandung ancaman.


Tiba-tiba dia mengaum seperti auman harimau. Persis seperti apa yang diceritakan Rinto, teman si pasien itu.


Udara yang tadinya cerah, mendadak dingin. Seperti ada embusan angin yang mengandung uap air es menyelimuti sekitar. Cuaca pun berubah dengan sangat cepat, menghitam dan gelap. Mendung tiba-tiba bergayut.


Dokter Liem berusaha tetap tenang meneruskan membaca dua ayat terakhir surat Al-Baqarah, meski sempat tertegun merasakan perubahan suhu yang tiba-tiba. Dokter muda itu pun cepat-cepat mengubah posisinya menyamping, menjadi lebih waspada.


Pasien yang tadinya tidak bisa berdiri itu tiba-tiba saja bangun dan melompat jumpalitan. Dia meloncat tak beraturan, membuat semua yang melihat menjerit. Suasana seketika menjadi kacau balau ketika para pemuda--teman si pasien--dan beberapa warga yang datang menonton karena mendengar ada pengobatan rukiah di masjid berhamburan lari menghindar. Mereka takut jika pasien yang polahnya sudah menyerupai harimau itu berhenti di depan mereka dan mencakar. Semua orang terlihat menahan napas. Di sela-sela sesak itu, terdengar bacaan istighfar dari bapak-bapak pengurus masjid, jemaah tabligh, dan beberapa orang yang hadir. Mulut-mulut itu tak berhenti melantunkan firman Allah.


Tidak satu orang pun mampu menyembunyikan wajah-wajah khawatir melihat kondisi pasien tersebut. Sementara itu, Dokter Liem masih tetap meneruskan membaca ayat kursi, dan berusaha tenang mengikuti pasiennya yang sekarang sudah berubah, bersikap seperti harimau.


Ketika manusia berpolah harimau itu diam, Dokter Liem segera mendekat, mengambil kesempatan secepat mungkin memiting badan si pasien. Pergumulan tak bisa dihindargmdan mulai bertanya,

"Siapa kamu? Mengapa kamu menggangu anak muda ini?"

Pandangan Dokter Liem tetap waspada, melihat tepat ke manik mata anak muda itu. Berulang kali si pemuda menggeliat berusaha melepaskan diri dari pagutan Dokter Liem. Akan tetapi, sedikit pun dokter itu tidak melonggarkan apalagi melepaskan pitingannya.


Si pemuda yang kerasukan itu masih meronta-ronta, melotot memandang marah, tetapi mulai terlihat melemah.

Perlahan terdengar suara berat dan dalam dari mulut si pemuda, seperti suara orang yang sudah sepuh, di sela-sela auman dan geraman yang membuat suasana terasa menakutkan.


"Ggrrgrh ... dia ini kurang ajar. Tidak punya sopan santun. Mengotori dan buang air kecil di tempat saya. Saya tidak terima!" Suara yang keluar dari mulut si pasien jelas bukan suara asli anak muda itu. Suara yang terdengar, membuat bulu kuduk berdiri, asing, berat, dan menyeramkan. Bukan suara manusia biasa.

Semua orang terdiam. Wajah mereka terlihat kaku dan tegang, penasaran menunggu respon dan reaksi si pasien, juga Dokter Liem.


"Iya. Meski anak ini salah, tapi kamu juga tidak seharusnya membalas dan mengganggu dia seperti yang kamu lakukan tadi. Kamu tahu, kan, kalau perbuatan kamu itu dilarang?" Dokter Liem berusaha mengingatkan jin yang merasuki pasiennya, agar tahu bahwa dia juga tidak boleh berbuat semena-mena.


"Berapa banyak kamu di dalam?" tanya Dokter Liem lagi memastikan. Sembari bertanya, dokter muda itu masih tetap membaca ayat-ayat rukiah.


Meski terlihat sudah tidak sekuat tadi, tetapi si pasien masih belum sepenuhnya menunjukkan tanda-tanda dia menderita karena bacaan ayat-ayat rukiah tersebut. Tampak jelas si pasien seperti menahan diri, tidak mau menunjukkan kondisi yang sebenarnya.


Tiba-tiba, setelah beberapa jeda, si pemuda itu bersuara nyaring, membuat semua orang kembali terlonjak kaget.


"Banyak! Banyak yang ada di dalam! Saya suruh mereka semua masuk! Saya marah! Saya marah karena tidak dihargai! Dia harus diberi pelajaran!" jerit suara yang keluar dari mulut anak muda itu, sembari meliuk-meliukkan badan, menatap tajam Dokter Liem.


Mata si pemuda yang masih memerah itu kemudian menyisir ke semua sudut. Seperti mengambil ancang-ancang.


Dokter Liem siaga


Mendengar jawaban si pemuda, Dokter Liem pun berteriak keras, mengimbangi. Kekuatan manusia tidak boleh berada di bawah jin. Itu yang harus diyakini. Wajar saja Dokter Liem tidak sedikit pun memperlihatkan ketakutan, meski keadaan terlihat sangat tidak wajar.


"Tidak!" Dokter Liem menghardik si pasien. "Tidak bisa begitu! Kamu tidak boleh bersikap seperti itu!" sanggah Dokter Liem keras. "Saya minta kamu segera keluar dari tubuh orang ini, se-ka-rang!" Dokter memerintah sambil mencengkram keras leher si pemuda. Dokter Liem kembali membaca ayat kursi.


"Aduh, panas, panas. Kaki saya terbakar," rintih si pasien.
"Sakit? Kalau sakit, keluar kamu, cepat!"
"Tidak mauuu!" jerit suara itu marah, menggeliat kuat berusaha melepaskan diri. Dia kembali bertingkah seperti harimau yang mengamuk karena terluka.


Dokter Liem tampak tidak peduli dan memiting lagi si pasien sambil menekan kuat satu titik di belakang kepala pasien itu. Si pasien kembali merintih dan semakin kesakitan.

"Arrrggghhh."

"Kamu mau keluar sendiri atau dipaksa? Mau dibakar lagi, hah?" ancam Dokter Liem yang sedikit pun tidak lagi memberikan ruang dan kesempatan untuk si pasien bergerak. Sementara itu, suara auman masih terdengar menggema.

"Ya, saya akan keluar sendiri," jawab suara dari mulut pasien itu memelas.
"Kalau begitu, cepat kamu keluar!"
"Sudah, sudah, sudah! Saya sudah keluar!" aku si pasien terlihat kesal.

Namun, masih terdengar pelan suara menyerupai auman dari mulutnya.

"Kamu mau berbohong, ya?" sindir Dokter Liem. "Itu, sepertinyanya kamu masih ada di dalam. Mau saya bakar, lagi?" Dokter Liem kembali mengancam. "Saya enggak main-main, lho, ya. Jangan menyesal kamu."

"Jangan! Jangan! Kamu memang hebat! Saya takut sama kamu." Suara tua itu memuji Dokter Liem.

Dokter Liem terdiam, waspada, kemudian menjawab, "Kamu enggak usah pura-pura memuji, deh. Saya sudah tahu permainan kamu. Kamu sengaja kan muji-muji begitu supaya saya merasa bangga? Ho ho ho, enggak bisa. Tidak ada yang lebih hebat selain Allah yang menciptakan saya dan kamu. Apa kamu terus-terusan ingin melawan Allah, ha? Masuk ke tubuh manusia padahal kamu tahu itu dilarang?"

"Hanya Allah yang memiliki semua kekuatan. Hanya Allah yang memiliki semua kehebatan. Bukan saya. Jangan coba-coba memancing saya, membuat saya lengah," balas Dokter Liem lagi berkotbah.

Memang, terkadang, sebagai manusia kita terbawa perasaan,merasa terlena di saat jin merayu mengeluarkan pujian, sehingga ada setitik celah kesalahan dalam diri kita, menjadi ujub karenanya. Akibatnya, kita perukiah bisa menjadi lemah dan mudah diserang balik.

"Sekarang, cepat kamu keluar!" bentak Dokter Liem, memaksa sambil membaca surat Al-Ikhlas.

"Sudah! Sudah! Ini saya sudah keluar. Saya terbakar ini. Ampuuun," teriak suara dari mulut anak muda itu ketika Dokter Liem melanjutkan bacaan alqurannya.


"Kalau benar kamu sudah keluar, coba ikuti bacaan saya." Dokter Liem kemudian mengejakan bacaan tahlil diikuti dengan benar oleh pemuda tersebut.


"Baik, kalau kamu sudah keluar. Coba sekarang berdiri!"


Subhanallah, pasien yang tadinya tidak sadarkan diri dan harus dibopong itu sudah bisa bangkit tanpa dibantu. Orang-orang yang melihat langsung ramai, bergumam tak jelas. Terlihat ekspresi wajah pasien itu seperti orang bingung.

"Assalamualaikum," sapa Dokter Liem ramah. "Siapa nama kamu?"
"Toni," jawab si pasien pendek.
"Baik, Toni. Sekarang, bagaimana keadaan kamu? Kamu tahu enggak sekarang ada di mana?"


Toni kemudian memutar kepalanya memperhatikan sekeliling.

"Enggak, Pak. Saya gak tahu," jawabnya masih terlihat bingung.
"Ya, sudah, kalau kamu enggak tau. Sekarang coba kamu wudu, kemudian salat duha. Kamu bisa salat, kan?"

Toni yang ditanya hanya diam saja seperti patung, menatap panjang Dokter Liem.


"Hei, kamu dengar saya, gak?" hardik Dokter Liem.

"Eh, iya, iya, Pak." Anak itu hanya menjawab, tetapi tetap masih tak bergerak sedikit pun.


"O, ternyata kamu mau main-main, ya. Masih mau mencoba-coba saya, ya!" Dengan sigap Dokter Liem mencengkeram kuduk Toni.


Belum sempat Dokter Liem membaca ayat alquran, keluar suara auman dari mulut pemuda itu.

"Hahaha, ternyata kamu memang tak mudah ditipu ya!" Suara tertawa itu terdengar seperti mengejek.

"Baik, ternyata kamu memang mau melawan Allah. Saya bakar kamu dengan izin-Nya!" Lagi, ancaman keluar dari mulut Dokter Liem. Ayat kursi pun dilantunkan dengan suara keras.


"Aduh, aduh, kaki saya terbakar! Tangan saya juga! Ampuuun, ampuuun. Sakiiit, sakiiit. Panaaas, panaaas," teriak si pasien sambil berguling-guling menjauhi Dokter Liem.


Dokter Liem mengikuti dan kembali meraih leher si Toni, dan mencengkramnya kuat.


"Mau lari ke mana kamu? Bagaimana? Masih tidak mau keluar?" Marah terdengar suara Dokter Liem melihat si pasien itu seperti menghindar. Ingin lari.


"Iya, iya, saya keluar!" jawab suara itu terdengar kesal. "Saya janji. Saya sudah terbakar, ni." Suara itu masih saja bernada jengkel meski mulai terdengar melemah.


"Salah kamu sendiri, mencoba-coba melawan Allah!" tegur Dokter Liem tegas. "Sudah keluar semua belum? Kalau benar mau tobat, sebelum keluar, kamu baca syahadat dulu. Asyhadu allaa ila haillallaah wa asyhaduannaa muhammadar rasulullaah. "

Lancar suara itu mengikuti


"Sekarang, kamu boleh keluar!" Perintah dokter Liem lagi.

"Iya, iya, baik. Saya keluar benaran sekarang."


Setelah jin itu mengaku keluar, Dokter Liem kembali meminta Toni untuk berwudu dan sholat duha. Perintah dokter muda yang sekarang ini langsung diiyakan Toni dengan bersemangat.


Semua orang yang melihat proses rukiah itu mengikuti Toni ke kamar mandi dan memperhatikannya berwudu. Sepertinya mereka ingin memastikan, apakah benar jin dalam tubuh anak muda itu sudah keluar semua.


Selesai berwudu, Toni pun salat sampai selesai dilihati semua yang hadir.


Rombongan yang membawa Toni tadi kemudian mendatangi Dokter Liem mengucapkan terima kasih, termasuk pengurus masjid dan para jemaah tabligh yang berada di sana. Mereka semua bersyukur karena pasien bisa disembuhkan.


Sebelum pulang, semua anak muda itu dinasihati agar selalu menjaga salat dan tidak lagi buang air kecil sembarangan. Mereka manggut-manggut mendengar wejangan bapak-bapak yang hadir di sana, berjanji akan berubah. Sepertinya mereka jeri setelah melihat pengalaman mengerikan barusan. Setelah bersalaman, mereka pun berpamitan.


Pasien yang tadinya tidak sadarkan diri dan dibopong, ikut pulang dengan berjalan kaki seperti tidak pernah terjadi apa-apa. Subhanallah.


Sementara Dokter Liem, semenjak diketahui merukiah di masjid belakang Puskesmas tersebut, menjadi terkenal dengan nama tukang rukiah tanpa embel-embel dokter lagi.


Ternate, 29 Mei 2021


Daftar Isi Cerpen Horor dan Misteri



Selengkapnya: Indeks Link Event Menulis Cerpen Horor dan Misteri

Penulis: Enya Hernawati Zainal

Bebeb Admin
Bebeb Admin Admin Bebebs Belajar Bersama Bisa Comunity

Post a Comment for "Kerasukan Dedemit, Cerita Horor dan Misteri "