Skip to content Skip to sidebar Skip to footer

Widget HTML #1

Misteri Kematian Di Dermaga, Cerpen Horor Terseram

Cerpen Horor Misteri Kematian Di Dermaga



Bebebs.com - Hari ini malam ketiga setelah kehilangan Sasmita, putrinya, Pak Sali hanya duduk termenung di sudut ruang tamu. Memandang potret sang buah hati dengan mata berkaca-kaca. Begitu pula dengan isterinya. Duduk menangis tak henti. Bingung dengan kepergian Sasmita yang tidak diketahui keberadaannya.

“Pak, anak kita ke mana. Kenapa nggak pulang-pulang?” isaknya, menyeka bulir air mata yang terus bergulir.

“Entahlah, Bu. Bapak juga nggak tahu,” jawab suaminya ikut menyeka air mata.

Mereka berdua lalu saling bertatapan, menarik napas panjang. Kemudian menghembuskannya sedikit demi sedikit. Saat ini adalah keadaan yang paling memberatkan bagi mereka. Pak Sali masih teringat sebelum Sasmita menghilang puterinya itu sempat berpamitan terlebih dahulu. Sama seperti hari-hari biasanya. Tidak ada yang berbeda. Sehingga pak Sali maupun isterinya tidak ada yang curiga sedikitpun.

Sepeda motor yang sering membawanya berjualan keliling kampung, juga turut menghilang bersamanya. Seluruh kawan-kawan Sasmita telah didatangi pak Sali. Begitu pun dengan pelanggan yang sering dikunjungi Sasmita. Namun, tak satu pun di antara mereka yang tahu di mana keberadaan Sasmita.

“Bu, nanti kita coba tanya-tanya lagi orang-orang yang mungkin tahu di mana Sasmita berada?” Pak Ali mencoba meredam kegundahan isterinya. Sejak menghilangnya Sasmita, isterinya benar-benar terpukul. Tidur pun hanya sedikit,terus menangisi kepergian putrinya.

“Iya, Pak. Semoga Sasmita bisa segera ditemukan,” harap isteri pak Sali, masih berlinang air mata.

Hilangnya  Sasmita di Dermaga 

Beberapa hari kemudian setelah peristiwa hilangnya Sasmita, pak Sali terkejut, ketika seseorang memberi khabar kalau mayat puterinya itu ditemukan di dermaga. Aroma kurang sedap membuat orang berkerumun di sekitar mayat Sasmita terpaksa menutup hidung. Lalat hijau pun banyak beterbangan di sana.

Isteri pak Sali pingsan saat melihat kondisi puterinya yang telah menjadi mayat. Pak Sali sendiri hanya termenung, tak mampu berkata apa-apa. Hanya mampu bergumam menanyakan nasib tragis yang menimpa puteri satu-satunya itu. Sebelum kemudian pasrah, menerima ujian hidup yang harus mereka terima.

Tepat satu minggu setelah meninggalnya Sasmita, pak Sali selalu didatangi puterinya dalam mimpi. Terlihat olehnya sang puteri memendam kesedihan sekaligus kemarahan. Pakaian putihnya berkibar, menyiratkan dendam yang terlilhat dari tatapannya. Sepertinya pengaruh iblis telah membuat rohnya tersandera.

Pak Ali terkejut, terbangun dari mimpinya. Yang membuat dirinya terkejut adalah terciumnya wangi melati di dalam rumah. Dan dari arah kamar Sasmita seperti terdengar suara pintu terbuka. Ditambah nyanyian aneh yang belum pernah terdengar sebelumnya.

“Bu … Bu … bangun. Sepertinya ada orang di kamar Sasmita!” Pak Ali berusaha membangunkan isterinya.

“Ah, Bapak ini ngawur. Mana mungkin ada orang di kamar Sasmita!” isteri pak Sali pun mencoba menyanggah pernyataan pak Ali tadi.

“Benar, Bu. Nah, itu terdengar lagi suara orang nyinden di kamar Sasmita!” pak Sali terus meyakinkan isterinya kalau ada seseorang di kamar Sasmita. Akhirnya isterinya itu pun mengakui kalau ada seseorang di kamar puterinya.

“Pak. Bau melatinya kok kenceng sekali, ya. Siapa malam-malam begini yang pake parfum melati?” tanya isteri pak Sali bingung. Merasa tak ada seorang pun yang berada disekitar rumahnya yang memakai parfum melati. Apalagi sudah tengah malam begini.

Pak Sali mengangguk, membujuk sang isteri untuk masuk ke kamar Sasmiita, puterinya. Namun segera ditolak karena merasa tidak yakin kalau ada orang di sana. Akhirnya, setelah berbincang-bincang sebentar, pak Sali dan isterinya pun memutuskan untuk segera tidur kembali.

Kembali Sasmita mendatangi pak Ali dalam mimpinya. Kali ini terlihat puterinya menatapnya dengan kesedihan teramat dalam. Sama seperti mimpinya yang pertama, Sasmita seperti memperlihatkan akan membalas dendam kepada orang-orang yang telah tega menghabisi dan membuang tubuhnya ke sungai yang berbatu . Kembali pak Sali tersentak. Namun kali ini dia tidak membangunkan isterinya, takut membuat ia cemas. Lagi-lagi aroma melati itu memenuhi rumah dan sekitarnya.

Mimpi yang dialami pak Sali terjadi tiga hari berturut-turut. Pak Sali sendiri tidak bisa membayangkan kalau itu sebuah isyarat balas dendam. Dia masih berkabung atas kepergiaan Sasmita yang tiba-tiba. Sementara suara gaduh di kamar puterinya itu terus terjadi pada malam harinya.

Malam Ketujuh Kematian 
  


Setelah malam ketujuh kematian Sasmita yang misterius, suara tangis tiba-tiba terdengar dari kamarnya. Kali ini, isteri pak Sali, terbangun dan mendatangi kamar Sasmita. Tampak arwah Sasmita duduk di pinggi ranjang, membelakangi ibunya.

Awalnya sang ibu merasa takut karena merasa sedang berhadapan dengan makhluk dari dimensi lain. Namun, karena rasa rindu ingin bertemu dengan Sasmita, akhirnya dia menghalau rasa takutnya.

“Sas, kenapa menangis? Pulanglah, Nak. Alam kita sudah berbeda!” terdengar lirih suara isteri pak Sali.

Arwah gadis itu masih terus menangis dan membelakangi isteri pak Sali tersebut. Aroma melati bercampur dengan amis darah membuat perut perempuan itu seketika mual. Tidak tahan, ibu Sasmita mundur, dan tidak jadi masuk ke dalam kamar. Sementara arwah Sasmita pun tiba-tiba menghilang.

Keesokan harinya, kedua orang tua Sasmita pun memperbincangkan kejadian-kejadian aneh yang terjadi dalam kamar Sasmita. Tentang penampakan dan wangi melati sekaligus amis darah yang kerap memenuhi ruangan dalam rumah. Terutama kamar Sasmita.

“Pak, apa sebaiknya kita panggil pak Ustad untuk mengadakan pengajian, jadi, arwah Sasmita bisa tenang?” Lirih, isteri pak Sali ini bertanya. Tampak jelas keresahan dan kekhawatiran dari raut wajahnya.

“Kita sudah ngadakan pengajian sampai tujuh malam, Bu. “ Pak Sali menjawab pelan. Pasrah dengan keadaan yang menimpa mereka saat ini. Akhirnya sang isteri memohon pertolongan Allah agar bisa an

Beberapa hari kemudian, kawasan tempat tinggal mereka dihebohkan oleh tewasnya Salim, salah satu teman Sasmita. Kondisi tubuh pemuda itu benar-benar mengenaskan. Tercabik-cabik, dan penuh luka sayatan serta bekas jeratan di lehernya. Aroma melati juga ada di sekitar lokasi pembunuhan Salim, yaitu di kamarnya.

Ternyata, arwah Sasmita mulai melancarkan balas dendam pada orang-orang yang telah membunuh dan menganiayai tubuhnya. Pak Sali tidak bisa melakukan hal apa pun karena tidak tahu siapa saja yang telah membunuh Sasmita. Namun, karena kematian Salim akhirnya, pak Sali berusaha menemukan teman-teman Sasmita lain yang mungkin ada kaitannya dengan kematian Sasmita, untuk mencegah kematian yang lebih mengenaskan.

“Sari, Bapak, mau tanya. Apa, Nak Sari bertemu Sasmita, sebelum dia meninggal?” Wajah Sari berubah pucat. Tertunduk, tidak berani menatap pak Sali.

“Maaf, Pak. Sari memang bertemu dengan Sasmita. Tapi, hanya sebentar, Pak. Sudah itu, dia pergi lagi. Katanya, mau keliling lagi.” Sari tampak sedikit gugup menjawab pertanyaan pak Sali tadi. Seperti ada sesuatu yang disembunyikannya.

Pak Sali pun mengutarakan kekhawatirannya, setelah terungkapnya kematian Salim kemarin. Ayah Sasmita itu cemas karena merasa bakalan ada korban balas dendam Sasmita selanjutnya. Sementara Sari, masih tetap bungkam, tidak mau bicara.

“Benar, kamu tidak menyimpan sesuatu, Sari?” Nada bicara pak Sali mulai keras. Mencoba mengorek keterangan dari salah satu teman Sasmita itu.

Wajah Sari terlihat semakin pucat. Bibirnya pun bergetar, begitu juga kedua tangannya. Berkali-kali gadis itu menghindari kontak mata dengan pak Sali. Melihat tindak-tanduk Sari, pak Sali semakin curiga dan penasaran. Namun, laki-laki hampir berusia paruh baya itu, tak bisa berbuat banyak.

Diiringi tatapan Sari yang penuh tanda tanya, pak Sali kembali, pulang ke rumah. Dia merasakan kalau Sari ikut sebagai salah satu pelaku pembunuhan Sasmita.

Malam hari, di rumah Sari, gadis itu mondar-mandir dalam kamarnya. Sang adik yang sengaja dipaksa untuk menemaninya tidur menjadi sedikit kesal.

“Mbak, kok, mondar-mandir terus sih. Kayak setrikaan!”

Sari mengacuhkan ucapan adiknya. Gadis itu masih saja berjalan mengitari kamar. Maju mundur secaar perlahan. Seperti ada yang dipikirkannya.

“Mbak kalo nggak bisa berhenti, Aku nggak jadi nih nemenin Mbak tidur di sini!” Sari berhenti seketika setelah mendapat ancaman adiknya.

“Iya … Mbak akan duduk manis. Sana, kerjakan lagi PR mu!” Sari akhirnya mengalah. Duduk di atas temapt tidur, sambil memainkan gawai, mencoba menghubungi beberapa orang temannya. Namun, sayang, sepertinya, chat nya hanya berconteng satu. Berarti nomer teman-temannya itu tak ada yang aktif.

Sari membuang napas dengan kasar. Kesal. Sesaat, penyesalan tiba-tiba saja menghampiri benaknya. Seandainya saja dia bisa menolak paksaan Salim, mungkin Sasmita tidak perlu harus meregang nyawa.

Hembusan angin malam, tiba-tiba saja membuat Sari dan adiknya mengantuk. Adik Sari terlebih dahulu trtidur, sementara Sari masih berada antara sadar dan tidak. Tiba-tiba saja, sosok cantik Sasmita muncul di hadapannya. Rasa kantuk yang tadi hinggap seketika menghilang begitu saja.

“Sas … Sas …, ampun!” jerit Sari tertahan. Keringat dingin mulai mengalir di wajahnya yang pucat pasi.

Sebuah seringai menghias wajah Sasmita yang masih terlihat cantik. Aroma melati menyebar di seluruh ruangan kamar tidur Sari.

“Aku hanya minta tolong, beritahu bapakku apa yang telah terjadi padaku!”

Sari tertunduk. Lemas. Dara itu sadar, bahwa kebenaran harus segera diungkapkan. Kalau tidak akan jatuh korban lagi.

“Baik, Sas. Aku akan ceritakan semuanya pada bapakmu. Beri Aku kesempatan!” ucap Sari. Pasrah.

Arwah Sasmita hanya tersenyum. Tak ada kemarahan di sana. Sari adalah satu-satunya sahabatnya. Sari juga adalah korban dari Salim dan teman-temannya. Dulu, sewaktu Sasmita masih hidup, mereka berdua kerap jadi korban ejekan dari Salim dan kawan-kawannya. Bahkan tak acap, mereka juga mendapat perlakuan kasar.

Seiring ucapan Sari, arwah Samita pun menghilang. Aroma melati itu juga turut lenyap. Sari menhela napas panjang. Lega. Peristiwa terbunuhnya Sasmita masih membayang di pelupuk matanya. Dia dipaksa harus menyaksikan penganiyaan dengan tangan terikat dan mulut ditutup lakban. Bulir bening menitik di sudut netra Sari. Dia sendiri takut untuk menceritakan peristiwa itu karena diancam akan dibunuh oleh salim dan beberapa kawannya yang lain.

Ketika mentari telah berada di ufuk timur, Sari bergegas mandi. Tak dihiraukannya celoteh sang adik yang mencium aroma melati. Sari harus secepat mungkin menemui bapak Sasmita dan menceritakan semua yang terjadi. Dia tak takut lagi ancaman Salim, karena pembunuh itu telah mati.

“Assalammualaikum …” tergesa Sari mengucap salam. Takut, kalau bapak Sasmita telalh berangkat kerja.

“Waalaikumsalam …,” jawaban salam dari dalam rumah membuat Sari lega. Ternyata bapak Sasmita belum pergi.

“Masuklah, Sari. Ada apa pagi-pagi begini sudah berkunjung ke rumah Bapak?” tanya bapak Sasmita setelah mempersilahkan Sari masuk.

Sari cukup lama terdiam, setelah duduk di kursi tamu. Di dinding ada sebuah foto Sasmita dan dirinya ketika duduk di dermaga. Gadis itu bingung dari mana harus memulai ceritanya. Setelah selesai meredakan perasaan yang sedari tadi berkecamuk, akhirnya Sari pun menceritakan tentang pembunuhan Sasmita.

“Maaf, Pak. Sari baru menceritakan semuanya sekarang. Sari diancam akan dibunuh juga sama Salim dan tiga orang temannya!”

Wajah pak Sali langsung memuct. Ada kemarahan tergurat di sana. “Biadab … biadab sekali mereka semua!” desisnya beberapakali penuh kemarahan.

“Pak, lebih baik, kita lapor saja ke polisi. Biar mereka ditangkap!” Sari memberikan usul. Dia sudah tidak takut lagi menghadapi ancaman kawan-kawan Salim.

Bapak Sasmita menekuk wajahnya. Tampak berpikir keras. Mencoba meredakan emosi. Akhirnya membuat satu keputusan.

“Nak Sari bersedia jadi saksi?”

Sari mengangguk. Da sudah siap sekarang. Hanya ini yang bisa dilakukan untuk membuat arwah sahabatnya itu tenang.

“Iya, Pak. Sari siap jadi saksi,” ucap Sari tegas.

Sari dan pak Sali berangkat menuju kantor polisi yang jaraknya lumayan jauh. Angkot yang menuju ke sana pagi ini cukup sepi, jadi mereka bisa langsung pergi tanpa harus menunggu terlalu lama. Sepanjang perjalanan, mereka hanya duduk diam, sibuk dengan pikiran masing-masing.

Bahkan ketika duduk di hadapan seorang polisi yang mencatat pengaduan, mereka berdua juga tak baca bicara. Sesekali pak Sali menggaruk kepalanya, mengurangi amarah yang sedari tadi menyerang. Sari juga terlihat memilin ujung hijabnya, meredakan rasa cemas yang juga tak mau hilang.

‘Jadi, Sari bersedia jadi saksi, jika mereka berhasil Kami tangkap?” Ucapan pak Polisi itu menyentakkan Sari dari lamunannya. Dia dan Pak Sali sedari tadi sibuk dengan pikiran mereka masing-masing.

“I-i-ya, Pak. Saya bersedia!” jawab Sari terbata-bata.

Tanpa banyak proses, beberapa orang polisi segera menuju rumah kwan-kawan Salim. Ternyata, mereka telah kabur terlebih dahulu setelah mendengar kematian Salim yang mengerikan. Pak polisi yang menangani kasus kematian Sasmita pun meminta waktu agar bisa menangkap pelaku pembunuhan Sasmita.

Sudah beberapa hari, pak Sali dan Sari menunggu khabar penangkapan kawan-kawan salim, tapi sampai saat ini, mereka masih berkerian bebas. Belum juga berhasil ditangkap. Hingga, akhirnya, tiba saat pembalasan dari arwah Sasmita.

Satu per satu, mereka menerima balas dendam arwah Sasmita. Mengalami nasip serupa seperti Salim. Tubuh tercabik, penuh dengan sayatan. Hingga, salah satu pelaku akhirnya menyerahkan diri ke poisi, Pelaku terakhir yang menghabisi nyawa Sasmita. Orang terkejam yan pernah dilihat Sari.

“Ampun, Pak. Saya mengaku salah!” ucapan Andar, salah satu kawan Salim yang tersisa itu merengek saat menyerahkan diri ke kantor polisi.

Tanpa banyak bunyi, Andar langsung dimintai keterangan. Cowok itu mengakui semua kesalahannya dan bersedia dihukum atas perbuatannya. Setelah cukup lama iinterogasi, Andar langsung dimasukkan ke dalam sel bersama dua orang pelaku kriminal lain.

Sari merasa lega akhirnya, Andar mau menyerahkan diri. Itu berarti tugasnya tinggal selangkah lagi. Menjadi saksi atas pembunuhan sahabatnya, Sasmita. Namun, tanpa diketahui Sari, ternyata arwah Sasmita tak mau melepaskannya begitu saja.

Menjelang tengah malam, ketika polisi penjaga dan dua orang kriminal yang berada satu selnya terlelap. Andar tidak bisa tidur. Perasaan gelisah dan cemas dari tadi terus-menerus menghantuinya. Sebuah bayangan putih tiba-tiba saja telah berada di hadapannya. Wajah Sasmita yang cantik membuat nyalinya ciut. Aroma melati berbaur dengan aroma amis, begitu menyengat penciuman.

“Hi … hi …, kenapa takut, Andar. Bukankah, Kau yang paling ingin membunuhku?” ejek arwah Sasmita, memarken seringai yang menyeramkan.

“Ampun … ampun. Jangan bunuh Aku!” terdengar lirih ucapan Andar. Penuh ketakutan.

Sebuah sayatan segera mendarat di salah satu bagian tubuh Andar. “Rasakan ini!” kata arwah Sasmita sambil memamerkan kukunya yang tajam dan runcing. Raut wajahnya pun tak lagi cantik seperti tadi. Bau amis semakin kencang memenuhi sel. Tubuh Andar semakin banyak terkena sayatan kuku runcing arwah Sasmita.

Sebuah Teriakan Minta Ampun 


Teriakan minta ampun Andar pun tak dihiraukan arwah itu. Mata cowok itu sampa melotot, menahan rasa sakit dan ketakutan. Pembalasan arwah Sasmita pun purna, setelah Andar menggantung dirinya di sel, memakai bajunya. Kematian yang sebenarnya penuh misteri, karena ada campur tangan dari arwah Sasmita.

Setelah kematian Andar, arwah Sasmita tak lagi gentayangan. Aroma melati yang sering memenuhi kamar dan rumah pak Sali pun perlahan menghilang. Misteri kematian Sasmita pun akhirnya tak lagi membayangi kehidupan pak Sali. Semua pelakunya telah mendapatkan balasan. Pak Sali dan isterinya pun bisa merelakan kepergian puteri satu-satunya itu dan terus mendoakan arwah Sasmita.

The End 

Daftar Isi Cerpen Horor dan Misteri 


Baca selengkapnya:  

Author, Sri Uliyati 


Bebeb Admin
Bebeb Admin Admin Bebebs Belajar Bersama Bisa Comunity

Post a Comment for "Misteri Kematian Di Dermaga, Cerpen Horor Terseram"