Skip to content Skip to sidebar Skip to footer

Widget HTML #1

Desperation, Story Horor dan Misteri

Cerpen Horor dan Misteri yang Bikin Merinding 




"Rasa kehilangan itu membuat jiwanya hampa, ia tak mampu lagi mengenal dirinya dan menarik diri dari lingkungan sekitar. Ia merasa sendiri, sepi di dunia yang ramai ini. Yang terlintas dalam benaknya hanya ingin menyusul orang-orang terkasihnya, setiap saat pertanyaan ini selalu saja terlontar dari mulutnya, Tuhan kapankah Kau memisahkan nyawa dari ragaku ini?"


Setiap kali Laras berangkat ke sekolah melewati depan rumah bertingkat dua itu, ia merasa bergidik. Betapa tidak rumah besar itu tampak tidak terawat. Tak ada tanda-tanda kehidupan di dalamnya. Cat yang menempel di dindingnya sebagian sudah terlihat mengelupas, jendelanya pun kelihatan berdebu, dan sepanjang hari selalu ditutupi oleh tirai berwarna merah maroon. Ia selalu melangkahkan kakinya dengan terburu-buru, tak ingin terlalu lama mengamati rumah yang menurutnya terkesan angker itu.

Rumah Angker Berpenghuni 


Ketika jam istirahat, ia menceritakan hal ini di depan ketiga sahabatnya, Mona, Aisha, dan Elin, mereka tampak antusias mendengarkan cerita Laras tentang rumah angker tak berpenghuni itu.


“Kalian tahu, nggak, di jalan yang aku lewati setiap hari berangkat ke sekolah dan pulang ke rumah, ada sebuah rumah besar bertingkat dua yang...”


Elin yang mempunyai postur tubuh paling gemuk diantara keempatnya memotong pembicaraan, “Yang pasti rumah itu milik konglomerat ya?”


Mona menimpali dengan nada sedikit kesal, “Hush...Lin, kebiasaan deh kalau ada cerita seru kamu selalu begini, dengerin deh sampai Laras selesai bicara.”

Aisha menambahkan, “Iya nih, Elin, jadi buyar konsentrasi menyimakku.”


“Sudah, sudah! Kalian mau dengar kelanjutannya, nggak?” Laras mencoba melerai adu mulut di antara ketiga sahabatnya.


Sontak, mereka pun serempak mengangguk bersamaan, seraya memusatkan perhatian pada Laras, menuntut temannya itu untuk melanjutkan cerita. Ketiganya pun kompak bungkam.


“Jadi gini temen-temen, memang, sih, rumah itu paling besar diantara rumah-rumah lain yang berada di jalan itu. Tapi sayang sekali rumah itu kotor, nggak terawat, tak ada tanda-tanda kehidupan di dalamnya. Sepertinya, sih, sudah lama kosong. Setiap kali aku melewatinya, rumah itu selalu berhasil membuat berdiri bulu romaku. Angker deh pokoknya," terang Laras sambil bergidik ngeri.


“Ah, mungkin itu cuma perasaan kamu aja kali. Kamu, kan, selalu sendirian jalan ke situ. Karena merasa kesepian, makanya timbul perasaan takut,” ucap Aisha tidak percaya dengan cerita yang didengarnya barusan.


“Seseram apa, sih, rumah itu? Aku jadi penasaran deh, ingin melihatnya langsung,” ungkap Mona dengan mimik muka yang penasaran.


“Ya, sudah. Kalau kalian juga merasa penasaran, sepulang sekolah kita lewat jalan situ saja, gimana?” usul Elin, lalu menyuapkan sepotong bakwan ke dalam mulutnya dan dijawab dengan anggukan kepala dari Laras dan Mona. Walau merasa tak percaya dengan hal-hal takhayul seperti itu, tetapi dalam hati Aisha timbul rasa penasaran juga dan memutuskan untuk ikut menyaksikan langsung keangkeran rumah itu.


Tak lama kemudian, lercakapan mereka terhenti karena bel sekolah berbunyi tanda waktu istirahat telah usai dan pelajaran akan dimulai kembali. Mereka pun bergegas melangkahkan kaki menuju ke kelas, bersiap menerima pelajaran berikutnya.


Sepulang sekolah, mereka memutuskan untuk melewati jalan di mana rumah itu berada bersama-sama.


“Ini, nih, rumah yang aku maksud." Laras berkata setengah berbisik, ketika mereka telah berada tepat di depan rumah berlantai dua itu.


“Seram apanya? Biasa aja,” ucap Aisha dengan nada sedikit kecewa, karena ia berharap mendapat jawaban yang memuaskan untuk menuntaskan rasa penasarannya.


Tiba-tiba saja, terdengar teriakan Mona. Telunjuknya menuding ke arah jendela yang berada di lantai dua rumah itu.


“Hei lihat, itu apa?”


Secara bersamaan mereka melihat ke arah yang ditunjukkan oleh Mona barusan. Sontak saja, mereka langsung lari terbirit-birit. Tirainya bergerak-gerak sendiri, padahal, siang itu tak ada tiupan angin sama sekali. Tampak ada seseorang menyibakkan tirai yang menutupi jendela dan sepasang matanya menatap tajam ke arah mereka.

Terjawab Sudah Rasa Penasaran 


“Heeii...tungguin aku donk, jangan ditinggal!” teriak Elin dengan nafas terengah-engah. Memang ia larinya paling lambat di antara semua karena pengaruh postur tubuhnya. Ia melihat ketiga temannya sudah berlari agak jauh darinya. Mendengar teriakan Elin, Laras, Mona, dan Aisha berbalik ke tempat Elin berada.


“Ayo buruan larinya siapa tahu dia mengejar kita,” kata Laras dengan nafas memburu sambil menarik kedua tangan Elin.


“Iya nih, serem banget melihat kedua matanya yang memandang kita dengan tatapan menyeringai tadi." Aisha bergidik ngeri hingga nada bicaranya bergetar. "Aku masih terbayang-bayang deh,” lanjutnya.

Terjawab sudah rasa penasaran dalam hati Aisha. Padahal, dia sama sekali tak percaya hal-hal di luar nalar seperti itu, sebab belum pernah melihatnya sekali pun. Dan kini, dia menyaksikannya dengan mata kepala sendiri. Sehingga, dalam hati, diam-diam dia membenarkan cerita Laras perihal rumah angker itu.

“Iya, nanti malam aku pasti bakal nggak bisa memejamkan mata, deh." Mona menggigit bibir. Dia merasa sungguh sangat menyesal dengan keputusannya untuk ikut. Padahal, dia orangnya sangat penakut.

Sesampainya di sebuah toko kelontong, mereka berhenti sejenak untuk membeli minuman. Rasa lelah dan raut ketakutan tergambar jelas di wajah keempat gadis remaja SMA itu.


“Yang ngelihatin kita tadi itu hantu apa orang, ya?” Laras bertanya setelah napasnya sedikit agak teratur.


“Tapi masa, sih, ada hantu di siang bolong begini?” Di film-film juga hantu itu munculnya malam hari.” Aisha menyeruput minuman yang dipesannya melalui sedotan sambil mengibas-ngibaskan tangan untuk mengusir gerah.


Sementara itu Elin dan Mona tidak berkomentar. Mereka masih sibuk meredakan napas yang tersengal akibat berlarian tadi.


Setelah rasa lelah hilang dan mereka menghabiskan minuman yang dipesan masing-masing dan membayarnya, keempat gadis itu pun berpamitan pada sang pemilik toko kelontong. Mereka berjalan dengan langkah gontai, tak banyak bercakap-cakap. Mereka sibuk dengan jalan pikiran masing-masing tentang si penyibak tirai dengan pandangan yang tajam dan menyeringai itu.

Dalam benak mereka bertanya-tanya, siapakah sebenarnya sang pemilik tatapan menyeramkan itu?

Mulai Digroti Rasa Ketakutan 


Sejak kejadian seram itu, setiap berangkat sekolah dan pulang, Laras enggan melewati jalan di mana rumah angker itu berada. Ia lebih memilih memutar ke jalan lain walaupun jarak tempuhnya lebih jauh dari biasanya.


Seperti siang ini, Laras baru saja pulang sekolah. Sesampainya di rumah, setelah mengucapkan salam, ia buru-buru mengambil minum dan meneguknya untuk menghilangkan rasa lelah dan dahaga.


“uhuk...uhuk...uhuk!" Tiba-tiba saja Laras batuk-batuk karena tersedak air minum yang diteguknya dengan terburu-buru.


“Ya, ampun Laras, pelan-pelan donk minumnya. Lagian kamu ini minum, kok, kelihatan sangat kehausan seperti habis menempuh perjalanan jauh saja,” tegur Bu Diah, Mama Laras keheranan.


“Laras memang lelah sekali, Ma. Habisnya sekarang Laras berangkat dan pulang jalannya memutar, nggak ngambil jalan yang biasanya.” Laras berujar dengan napas yang masih tak beraturan, setelah batuk-batuk tadi.


“Lho, memangnya kenapa memilih jalan lain? Jalan yang biasanya, kan, lebih dekat." Mama memandang heran putri kesayangannya, menunggu penjelasan.

“Iih, nggak, deh, Ma. Nggak mau lagi jalan situ. Mama tahu, nggak, rumah berlantai dua yang ukurannya paling besar diantara rumah-rumah lainnya di jalan itu, ternyata di dalamnya ada hantunya Ma.” Laras bergidik ngeri ketika terbayang kembali si penyibak tirai yang memiliki tatapan seram.


“Ada hantunya bagaimana? Memang Laras pernah melihat?” Mama mengernyitkan dahi. Setelah sekian lama dia tinggal di sini, tak pernah sekali pun terdengar rumor aneh tentang makhluk tak kasat mata.


“Bukan cuma Laras yang lihat Ma. Elin, Mona, sama Aisha juga melihat. Matanya serem Ma, melotot gitu lihatin kita, kayak menahan marah. Seperti harimau mau menerkam mangsanya.” Laras kembali bergidik mengingat peristiwa menyeramkan yang dialaminya bersama ketiga sahabatnya pada waktu itu.


Mendengar penuturan putrinya, Mama menggeleng-gelengkan kepala sembari tertawa.


"Laras, Laras. Kamu itu sudah besar, kok masih berpikiran yang nggak masuk akal.”


“Lho, Ma, tanya aja sama temen-temen sekolah Laras, mereka juga melihat dengan mata kepala sendiri, kok. Setiap kali Laras lewat ke depan rumah itu, auranya beda, Ma. Dingin, angker, nggak ada tanda-tanda kehidupan.”


“Setahu Mama rumah itu ada penghuninya kok, namanya Ibu Julia. Hanya saja, sejak peristiwa tragis yang menimpa hidupnya, jiwa Bu Julia terguncang hebat dan ia sama sekali tak mau keluar dari rumahnya," terang Mama panjang lebar.


“Peristiwa tragis, Ma?” Dahi Laras berkerut. Rasa lelahnya akibat berjalan memutar pun lenyap, berganti dengan rasa penasaran yang meronta-ronta. Gadis remaja itu menatap sang mama, menuntut penjelasan.


Mama mulai bercerita tentang peristiwa yang menimpa Ibu Julia tiga belas tahun yang lalu ....

Flash Back Hari Itu 


“Gimana, Mas, udah dapat kerjaan?” tanya Julia pada Bagas. Ia menyodorkan segelas air putih dingin pelepas dahaga yang tengah dirasakan suaminya.


“Ijazahku padahal sarjana, tapi kenapa, nggak ada yang mau nerima aku? Bosan aku hidup susah begini!” Bagas terlihat emosi. Lelaki itu meneguk air putih dalam gelas hingga tandas.


“Sabar, Mas, Insha Alloh ada jalannya, apalagi sebentar lagi kita mau punya buah hati. Kata orang, rezeki akan dimudahkan setelah punya anak." Julia berusaha menghibur suaminya sambil mengelus lembut perutnya yang semakin hari semakin membuncit. Saat ini, usia kandungannya sudah menginjak 8 bulan.


“Alaaah, gampang banget emang orang kalau ngomong. Buktinya hidup kita malah makin susah, rumah juga ngontrak, kecil lagi, tapi tiap bulan harus pusing mikirin bayarnya, bosan aku hidup miskin terus. Sekarang juga aku mau pergi!” Bukannya melembut ketika dihibur istrinya, amarah Bagas malah terlihat semakin memuncak. Lelaki itu beranjak dari tempat duduknya dan bersiap pergi.

“Mas, mau ke mana? Mas jangan tinggalin aku Mas...” Julia mulai menangis, meratapi kepergian suaminya.


Bagas tak menghiraukan istrinya. Ia terus melangkah pergi, berjalan semakin jauh dari rumah kontrakannya yang sempit, meninggalkan istri dan calon bayi dalam kandungan istrinya. Ia terus berjalan semakin jauh dari keramaian menuju hutan belantara yang masih jarang terjamah oleh manusia.


Benak dan pikiran lelaki kacau, tak mampu berpikir dengan jernih. Ia memasuki sebuah gua yang gelap dan pengap. Ia telah khilaf dan dibutakan mata hatinya hingga meminta sesuatu, mengharapkan hidupnya lebih baik, bukan pada sang Maha Pencipta.


Waktu terus bergulir. Sudah dua minggu lamanya Bagas meninggalkan Julia yang tengah hamil besar. Namun, hal ini tak membuat Julia terlarut dalam kesedihan. Ia berusaha tegar demi janin yang sedang dikandungnya. Julia pikir saat ini Bagas sedang berusaha mencari penghidupan yang layak untuk keluarga kecil mereka. Apa pun itu, penghasilannya mau besar atau kecil, yang penting halal dan suaminya pulang dengan selamat. Julia setiap hari selalu berharap demikian.


Hingga pada suatu hari, suaminya pulang dengan membawa uang yang jumlahnya banyak sekali.


“Mas, dari mana uang sebanyak ini? Mas nggak merampok bank kan?” Julia melebarkan pandangannya pada tumpukan uang itu. Seumur-umur, baru kali ini dia melihat dengan mata kepala sendiri uang dalam jumlah besar seperti ini.

“Kamu ini, suami datang bukannya disambut baik, malah dicurigai. Kamu nggak usah banyak tanya, yang penting kita sekarang hidup senang. Mulai besok kita tinggal di rumah gedongan.”


Singkat cerita Bagas dan istrinya menjadi orang kaya mendadak. Berembuslah kabar kurang sedap yang sampai juga ke telinga Julia bahwa Bagas telah melakukan pesugihan. Dalam hati Julia berharap hal ini tidaklah benar seperti yang tengah diisukan warga. Ia berusaha tak ambil pusing. Perempuan itu hanya fokus menjadi istri yang baik buat Mas Bagas dan menjadi Ibu yang sempurna untuk, Fatir, buah hati mereka.

Tak lama mereka menikmati kebahagiaan, Julia harus menghadapi kenyataan pahit. Kehilangan suami dan putra tercintanya yang meninggal secara tiba-tiba. Batinnya berucap lirih, mungkin benar adanya desas-desus tentang pesugihan itu dan tumbalnya adalah dua nyawa orang terkasih dalam hidupnya.

Sejak peristiwa itu, Julia tak pernah menampakkan diri lagi. Dia lebih senang menyendiri di rumah besarnya itu. Jiwanya begitu terguncang. Setiap hari, perempuan itu sering meracau tak jelas.

Cerita Kembali Kisah Tragis 


Laras menceritakan kembali kisah tragis yang dialami Ibu Julia kepada ketiga sahabatnya. Mereka mendengarkan dengan saksama. Kisah tragis yang dialami Bu Julia, yang membuat mata mereka berkaca-kaca dan timbul rasa iba.


“Kasihan juga, ya, Ibu Julia. Gimana kalau kita kunjungi saja rumahnya, sambil bawa makanan. Siapa tahu dia terhibur,” usul Aisha pada teman-temannya dan dijawab dengan anggukan tanda yang lainnya setuju.

Sepulang sekolah mereka mengunjungi rumah Ibu Julia. Setibanya di sana, pelan-pelan mereka mengetuk pintu rumah besar itu, tetapi tak ada sahutan.


Elin langsung berinisiatif membuka pintu dan memang mudah dibuka karena tak dikunci dari dalam.


Tok tak tok tak, terdengar suara langkah kaki menuruni anak tangga. Seketika jantung mereka berempat berdegup dengan kencang, ketika membayangkan kalau-kalau Ibu Julia itu galak dan seram.


“Selamat datang di rumah Ibu Julia anak-anak. Ayo silakan duduk. Mau minum apa? Teh, susu, kopi, atau sirup?” tanyanya dengan tatapan lembut dan senyum yang manis.

Mereka menghela nafas bersamaan, lega rasanya ternyata sosok Ibu Julia tidak seseram yang dibayangkan. Buktinya kedatangan mereka disambut dengan hangat.

“Maaf, Bu, kami sudah lancang masuk ke rumah Ibu. Kami hanya ingin berkenalan sama Ibu. Saya Laras, ini Aisha, Mona, dan Elin. Kami bawa roti buat Ibu semoga Ibu suka,” kata Laras sambil menyerahkan bungkusan besar berisi roti tawar lengkap dengan dua buah toples berisi selai strawberry dan kacang.


Ibu Julia menerima pemberian Laras dan beranjak menuju ke dapur. Tidak berapa lama dia kembali dengan menggenggam sebilah pisau dapur.

“Pulang, yuk, perasaanku tiba-tiba nggak enak, nih,” bisik Mona di telinga Laras.


“Bentar lagi pulangnya. Perutku keroncongan, nih. Siapa tahu Bu Julia mau menyuguhkan rotinya buat kita."


Mendengar ucapan Elin, spontan saja ketiga temannya melotot ke arahnya. Ini anak pikirannya makanan melulu.


“Bu, kami pamit pulang dulu, ya. Sudah sore, besok-besok kami main lagi kesini,” pamit Laras pada Ibu Julia.


“Apa? Pulang? Enak saja! Kalian nggak boleh keluar dari rumah ini. Kalian harus menemani aku selamanya di rumah ini, hahahaha!” Suara tawa Bu Julia melengking, menggema ke seluruh penjuru rumah.


Tatapannya berbeda dengan saat ia menyambut kedatangan mereka tadi. Pandangan mata wanita itu berubah nanar dan liar. Ia mengacung-acungkan pisau di tangannya ke arah mereka. Ia kemudian mengunci pintu. Dalam rasa takut, mereka sama sekali tak bisa berkutik.

Sementara Ibu Julia memotong-motong roti tawar, Laras dengan hati-hati mengeluarkan ponsel dari saku rok seragamnya. Ia berinisiatif mengirimkan pesan WhatsApp, berharap Mama membacanya dan segera mengirimkan bantuan.


"Ma, tolong, kami disekap Ibu Julia di rumahnya."


“Hei, gendut apa lihat-lihat, mau roti ini? Enak saja ini semua punyaku tahu!” ucapnya ketus, dengan mata memelotot seram. Bu Julia memasukkan sepotong roti ke dalam mulutnya, sementara tangan yang satunya masih menggenggam pisau dan diacungkan ke arah Elin, membuat lutut gadis itu seketika saja lemas dan rasa lapar yang dirasakannya dari tadi hilang seketika itu juga.


“Mas Bagas, Fatir, Sayang. Sebentar lagi aku menyusul kalian. Tunggu aku disana, ya. Aku mau bawa mereka sekalian buat nemenin kita di sana. Bia nggak sepi." Pandangan mata Bu Julia menatap langit-langit rumah lalu kembali beralih pada keempat remaja SMA yang jadi sanderanya.


"Anak-anak manis, siap-siap ikut Ibu, yuk. Kita mau pergi jauh." Sambil berkata begitu, ia bersiap menghunuskan pisaunya ke arah mereka.


Keempat remaja itu bersamaan berteriak, saling berpelukan. Wajah mereka pucat pasi, menahan ketakutan yang amat sangat. Mereka hanya bisa pasrah dengan keadaan dan memejamkan mata.


Braaak!

Terdengar suara pintu didobrak dari luar.

Dooor!


Tak lama kemudian, salah satu anggota polisi melayangkan tembakannya. Sebuah peluru tepat mengenai sasaran, menembus dada Ibu Julia. Seketika itu juga ia jatuh tersungkur ke lantai. Bersamaan dengan itu, terlepas pula pisau yang digenggamnya. Gaun putih yang dikenakannya berubah warna oleh darah yang keluar dari dadanya.

Ibu Julia tewas seketika itu juga. Namun, raut wajahnya tampak tenang dan damai. Mungkin Bu Julia merasa lega karena bisa berjumpa kembali dengan suami dan anaknya di alam keabadian.

Daftar Isi Kumpulan  Cerpen Horor dan Misteri 




Author, Teh Icus 

Bebeb Admin
Bebeb Admin Admin Bebebs Belajar Bersama Bisa Comunity

Post a Comment for "Desperation, Story Horor dan Misteri "