Skip to content Skip to sidebar Skip to footer

Widget HTML #1

Rumah Tua Warisan Nenek, Cerpen Horor Seram

 Cerpen Horor dan Misteri Terseram 



Bebebs.com - Rumah Tua Warisan Nenek, Dari kejauhan kulihat banyak mobil polisi yang terparkir di depan rumahku. Jantung ini seketika berdetak lebih kencang dari biasanya, terlintas di pikiran hal-hal buruk terjadi seperti yang biasa ditayangkan di televisi. Aku berharap itu tidak seperti yang ada di pikiran ini.

"Itu kenapa, Pak?" tanyaku pada pak Dimas, supir pribadiku.
"Bapak juga tidak tahu, Non."

Pak Dimas mendekatkan mobil, terlihat kegaduhan di dalam sana. Ada beberapa polisi yang berjaga menghalau orang-orang untuk masuk dan terlihat pula beberapa kameramen beserta reporter sibuk meliput situasi di rumahku saat ini. Aku semakin curiga kalau ada sesuatu yang buruk terjadi dengan keluargaku.

"Non, sebaiknya jangan dulu masuk ke sana. Kita tunggu di sini saja!" kata pak Dimas saat melihatku hendak membuka pintu mobil.

Aku menuruti kata pak Dimas, namun hati ini sungguh gelisah dan penasaran sembari di dalam hati berdoa agar semua baik-baik saja. Sejurus kemudian terlihat ayah digiring oleh dua polisi yang terlihat sangar. Kembali jantungku berdetak sangat kencang. Aku tak mendengarkan lagi kata-kata pak Dimas, segara kubuka pintu mobil berlari ke dalam, dengan susah payah tubuh mungil ini menerobos kerumunan orang.

Aku segera menghambur memeluk ayah dan berusaha melepaskan kedua tangan polisi itu dari ayah.

"Apa yang terjadi, Ayah? Kenapa mereka membawa Ayah? Apa salah Ayah?"

Tetapi hanya kata maaf saja berulang-ulang yang keluar dari bibir ayah.

"Memangnya Ayah melakukan kesalahan apa? Kenapa Ayah minta maaf?" tanyaku lagi sembari berurai air mata.

Lagi ayah tak menjawab pertanyaanku.

"Ayah, jawab Ayah! Please jangan cuman bilang maaf saja! Ayah jawab pertanyaan Airene!"
"Maaf, Dik! Kami harus membawa ayah Anda ke kantor polisi."
"Tapi kenapa, Pak? Ayahku salah apa?"
"Nanti juga Adik tahu."

Kedua polisi tadi bergegas membawa ayah ke dalam mobil dan tak mendengarkan teriakanku. Saat rombongan polisi sudah menjauh dari rumah, aku segera masuk menemui bunda. Terlihat bunda kini bersimpuh dengan berurai air mata, aku segera menghampirinya.

"Bunda, apa yang sedang terjadi dengan ayah?"

Bunda tak menjawab. Sepertinya bunda masih shock dengan kejadian ini dan aku tak tega memberondongnya dengan pertanyaan. Lalu bola mataku beralih menatap mbok Yanti, berharap dia akan menjawab tanyaku, namun mbok Yanti juga hanya menggeleng tak mengerti apa yang terjadi.

Sejam setelah kejadian, aku baru mengerti kalau ayah dibawa karena melakukan korupsi. Oh sungguh malang nasib ayah, ah tepatnya nasib kami. Sungguh kasihan ayah. Demi kami, dia rela melakukan itu semua. Oh ayah, mengapa kau lakukan hal seperti itu? Hanya air mata kini yang bisa menggambarkan perasaanku.

Meninggalkan Rumah Besar 


Terpaksa aku dan bunda harus meninggalkan rumah besar kami beserta kemewahan yang ada di dalamnya. Aku menatap rumah itu dengan berurai air mata. Entah bagaimana kehidupan kami nantinya? Sungguh tak terbiasa hidup seadanya, dari kecil aku sudah dimanjakan dengan kemewahan.


Perlahan, tapi pasti mobil pick up yang kami sewa meninggalkan rumah besar itu. Sungguh hati ini sangat perih bagai teriris sembilu, lalu diberi perasan air jeruk. Kau pasti tahu bagaimana rasanya, bukan? Perih, sungguh sangat perih.

Beberapa menit kemudian perumahan elit sudah jauh tertinggal di belakang bahkan atap rumahku tak terlihat lagi. Ah, maksudnya rumahku dulu. Aku berusaha memejamkan mata, ingin segera berlayar ke alam lain dan berharap saat bangun nanti semua ternyata hanya mimpi.


Beberapa lama kemudian, bunda membangunkanku, namun sayangnya saat kelopak mata ini terbuka dengan sempurna kenyataan semakin jelas terlihat. Kini kami berhenti di sebuah rumah tua, jauh dari kata layak untuk dihuni manusia. Saat membuka pintu mobil, aura mistis seketika terasa, aku bergidik ngeri. Kau tahu apa yang aku bayangkan? Ya, aku membayangkan banyak hantu bergentayangan di dalam sana.


Sopir mobil membantu menurunkan barang-barang kami yang tak seberapa. Lalu, kami pun bergegas membuka pintu pagar. suaranya yang berderik, sangat jelas kalau pintu pagarnya berkarat. Saat menginjakkan kaki di teras rumah seketika bau tak sedap menyapa indra penciuman, sepertinya rumah ini sudah berpuluh-puluh tahun tidak ditempati. 

Terlihat beberapa laba-laba bebas membangun istananya di sudut-sudut teras rumah. Lalu aku mendonggak, terlihat pula ada banyak lubang di atap teras rumah sehingga sinar matahari dengan bebasnya masuk melalui lubang itu. Saat melangkah masuk beberapa ekor kecoak dan tikus berlari dengan gesit karena terkejut dengan kedatangan kami.

Lagi, aku mengamati rumah itu, terlihat juga dinding rumah retak di sana-sini bagaikan membentuk akar serabut, kondisi rumah ini sangat parah. Sungguh tak layak huni.

"Bun, yakin kita mau tinggal di sini?"

Bunda mengangguk meyakinkan.

"Ini satu-satunya harta bunda yang tidak tercatat di dalam daftar kekayaan ayahmu. Warisan dari nenek. Nenek bunda."

"Tapi, Bun. Rumah ini tidak layak lagi."

Bunda tak menanggapi lagi dan langsung menyeret kopernya masuk sambil menyibak rumah laba-laba yang menghalang.

Malam yang Mencekam 

Akhirnya malam pun tiba, suasana begitu mencekam. Berbagai macam suara-suara binatang malam terdengar, aku menarik selimut berusaha untuk tidur, namun sialnya mataku enggan terpejam.


Tiba-tiba guntur menggelegar seakan meledak di atas atap rumah, refleks aku menutup mata dan telinga dengan bantal. Saat kubuka mata, ternyata lampu ikut padam.

Kurasa karena guntur tadi. Tak berselang lama guntur kembali berdentum di langit malam dan menyisakan kilatan cahaya petir, lalu beberapa menit kemudian hujan pun mengguyur tanpa ampun.

Lalu, terdengar pintu kamarku terbuka, sungguh itu membuattku kaget. Mungkin terbuka karena angin. Aku kembali membuka mata dan menyesuaikan netra ini dengan kegelapan, kemudian bergegas bangun menutupnya. Tiba-tiba bayangan putih melintas di depan kamar saat aku hendak menutup pintu.

"Bunda!" teriakku lirih.

Tetapi tak ada jawaban. Ah, mungkin tadi aku salah lihat. Aku segera menutupnya, baru saja menutup pintu kamar, jendela kamar pun terbuka hingga angin dan tampias air hujan bebas masuk. Aku bergegas menutupnya kembali, saat selangkah kembali dari menutup jendela itu, namun anehnya kembali terbuka. Aku menoleh, seketika bulu kudukku berdiri. Terpaksa aku kembali menutupnya.


Lagi, baru selangkah kaki ini melangkah, jendela itu terbuka lagi. Padahal aku yakin tadi menguncinya dengan benar. Sekali lagi kuberanikan diri menutupnya. Tiba-tiba sebuah tangan berkuku panjang, basah, dan berlendir menarik tanganku. 

Sungguh aku terkejut bukan kepalang dan tak ayal lagi aku langsung berteriak sambil berusaha melepaskan diri dari cengkraman tangan itu. Saat tanganku berhasil lepas, muncul sebuah kepala wanita berambut panjang tepat di depan wajahku. Sungguh wajahnya sangat buruk. 


Aku berteriak histeris, namun sialnya bunda tak juga muncul bahkan kurasa tak mendengarku. Mungkin bunda tertidur pulas karena kelelahan.

Aku segera berlari membuka pintu dan anehnya pintu tak bisa terbuka. Kini tubuh wanita itu mendekat ke arahku yang membuatku semakin ketakutan, yang bisa kulakukan hanya pasrah saja. Mungkin sebentar lagi hantu wanita itu akan membunuhku, lalu mengeluarkan isi perutku, dan memakannya. 

Aku bergidik membayangkan itu. Tidak, aku tidak mau mati mengganaskan seperti itu. Aku kembali berteriak histeris sambil mendorong pintu. Ah, pantas saja tidak bisa terbuka, lupa kalau pintunya seharusnya ditarik.


Syukurlah aku berhasil keluar dan berlari ke bawah menuju kamar ibu. Saat berada di tangga kurasa aku menendang sesuatu dan terdengar menggelinding ke bawah. Tetapi rasanya kakiku basah karena menendang benda itu, aku merabanya dan benar basah. Baunya menusuk seperti bau darah segar yang membuat perut mual. Aku kembali bergegas turun sambil mempererat pegangan di pemegang tangga.


Akhirnya aku berhasil menginjakkan kaki di lantai dasar dan lagi kakiku kembali menyentuh benda tadi. Aku merabanya, sepertinya benda itu berbulu panjang. Entah benda apa? Aku mengangkatnya dan seketika ada dua bola mata merah di benda itu membelalak menatapku, kepala.

"Huaaaa!"

Tak ayal aku langsung melemparnya ke sembarang tempat, lalu berlari ke kamar bunda.

"Bunda, Bunda!"

Tak ada jawaban dari dalam. Sekali lagi kuketuk, tetap tak ada jawaban. Aku mendorongnya sekuat tenaga. Dibelakang terdengar bunyi seperti seseorang sedang menyeret sesuatu, sungguh aku tak berani menoleh.

"Bunda!" teriakku semakin histeris sambil masih berusaha mendorong pintu kamar bunda.

Adakah Tangan Hantu?


Kurasakan sesuatu yang dingin menyentuh pergelangan kakiku, entah apa. Mungkin tangan hantu yang tadi, segera kuhentak-hentakkan kaki berusaha melepaskannya, sialnya tak bisa terlepas.

Pintu pun terbuka dan sekali lagi kuhentakkan kaki, akhirnya terlepas juga. Kumudian kututup pintu dan berusaha meraba-raba menuju ranjang, namun anehnya bunda tidak ada di tempat tidurnya. Kemana perginya bunda?

"Bunda! Bunda!"

Tiba-tiba dari bawah ranjang muncul sosok perempuan berambut panjang. Sekali lagi aku berteriak histeris sambil menutup wajah dengan kedua telapak tangan.

"Hei kenapa kamu teriak begitu?"


Eh, sepertinya itu suara bunda. Aku membuka mata dan benar itu bunda yang menyalakan senter ponselnya. Seketika aku menghambur ke pelukan bunda.

"Kenapa Bunda di situ? Airene kan jadi kaget."

"Kayaknya bunda tadi jatuh deh pas lagi tidur. Terus kenapa kamu berkeringat begini?"

"Bunda, aku tidak mau tinggal di sini lagi. Pokoknya malam ini kita pindah."

"Memangnya kenapa, sayang?"
"Rumah ini banyak hantunya." ujarku sambil sesenggukan.
"Tidak ada hantu kalau kita berdoa. Makanya Bunda bilang rajin-rajinlah salat dan baca Alquran. Syaitan, hantu, atau sejenisnya tidak akan mengganggu kita. Bukannya kita lebih mulia dari mereka? Seharusnya merekalah yang takut sama kita. Bukan justru sebaliknya."

"Pokoknya Airene tidak mau tinggal di sini."
"Iya, terus kita mau tinggal di mana lagi?"

"Terserah, asal jangan di sini atau di rumah banyak hantunya. Airene bisa-bisa mati muda karena ketakutan."

Tiba-tiba guntur kembali berdentum membuatku dan bunda bersamaan berteriak.

Selesai

Daftar Isi Cerpen Horor 



Marhani Kani, lahir di Sese (Tolitoli, Sulawesi Tengah) 21 Mei 1991. Gemar menghayal, membaca, menulis, dan bertualang. Memiliki karya berupa buku novel, kumpulan cerpen, dan antologi puisi. Selain itu penulis juga aktif menulis di berbagai plat form.

Penulis bisa dihubungi melalui email : marhanikani0@mail.com dan facebook: Marhani Kani



Bebeb Admin
Bebeb Admin Admin Bebebs Belajar Bersama Bisa Comunity

Post a Comment for "Rumah Tua Warisan Nenek, Cerpen Horor Seram "